Sebelum fajar menyingsing, ia sibakkan sarung yang menutupi tubuh kurusnya, menyeret langkah menuju belakang rumah untuk mengambil wudhu dari air yang mengucur lewat bong gelondong bambu. Dibasuhnya wajah yang mulai menua. Dilawannya udara dingin yang njekut.
Subuh ini seperti biasa, usai menunaikan kewajiban 2 rakaat, ia ingin mencuri pagi sebanyak-banyaknya. Ia sediakan karung yang cukup besar dan berharap karung itu akan dipenuhi rezeki penuh berkah.
Dibukanya jendela rumah lebar-lebar. Dibiarkannya udara pagi menguar memenuhi ruangan sempit rumahnya. Lampu ublik dimatikan. Suara kokok ayam mulai riuh, bersahutan, memberi tanda bahwa ia musti bergegas meninggalkan rumah.
Karung lusuh tersampir di pundak kiri sementara sebatang besi melengkung tergenggam erat di tangan kanan. Jalanan masih sepi dan lengang. Kakinya yang beralas sepatu butut melangkah ringan menuju suatu tempat. Tempat yang boleh dibilang, selalu dihindari oleh kebanyakan orang.
Ia adalah orang pertama yang hadir di tempat itu. Bau busuk menyengat menyambut kedatangannya. Tapi ia tidak peduli. Hidungnya sudah terbiasa dengan bermacam aneka aroma. Itulah sebabnya ia tetap menampakkan senyum. sebab ia yakin di tempat inilah Tuhan telah menyiapkan rezeki untuknya, dan itu patut disyukuri.
Tangan kurusnya mulai bekerja. Mengais-ngais tumpukan sampah yang menggunung. Ia bekerja sangat cermat dan hati-hati. Ia tahu jika dirinya teledor sedikit saja, tumpukan sampah yang menggunung itu bisa ambruk menimpa dirinya. Seperti kejadian beberapa waktu lalu yang telah menimpa salah seorang teman sesama pemulung. Akibat kurang berhati-hati, teman yang sedang apes itu tertimbun tumpukan sampah dan meninggal dunia saat itu juga.
Ia tidak ingin hal itu terjadi pada dirinya.
Ia masih ingin menikmati sisa-sisa hidupnya, walau hanya sebagai pemulung sampah.
Beberapa benda terbuat dari plastik yang masih utuh, botol-botol minuman bekas dan kardus-kardus nyaris memenuhi karung yang tergeletak di hadapannya. Ketika dirasa cukup, ia berhenti sejenak, merenggangkan pinggang dan menatap matahari yang mulai mengintip dari balik cakrawala.
Ia tidak ingin mengambil semua rezeki yang melimpah di hadapannya. Ia harus berbagi dengan teman-temannya. Meski kalau dirinya mau, bisa saja seluruh sampah yang teronggok itu ia ambil. Tapi ia tidak ingin menjadi manusia serakah.
Teman-teman sesama pemulung mulai berdatangan. Ia bertegur sapa, berbasa-basi dengan mereka, menepikan karung miliknya dan bersiap-siap untuk pulang.
“Kau selalu berhasil menaklukkan pagi, Bang!” seseorang menepuk pundaknya. Lelaki itu hanya tertawa. Ia mengangkat tangannya sebagai pertanda pamit pergi. Tapi baru saja kakinya hendak melangkah, pandangan matanya tertuju pada sebuah bungkusan kresek hitam tak jauh dari tempatnya berdiri. Bungkusan itu bergerak-gerak.
Lelaki itu diam beberapa jenak. Apakah bungkusan itu berisi anak kucing lagi seperti yang ia temukan tempo hari lalu? Perlahan ia melangkah mendekati bungkusan itu dan tangannya bergerak menyentuh tas kresek warna hitam yang teronggok bersama sampah-sampah bau.
Ia nyaris terpekik ketika telinga tuanya mendengar bunyi lenguhan lirih. Dada lelaki itu berdegup. Kencang. Itu bukan suara anak kucing!
Tangannya yang kurus spontan meraih tas kresek di hadapannya dan membuka ikatannya dengan hati-hati. Sesosok bayi mungil, masih merah dengan ari-ari melekat pada pusar tengah bergerak-gerak lemah. Lelaki itu dengan gemetar mengeluarkan bayi itu dan mendekapnya erat-erat.
“Rezeki apa lagi yang kau temukan pagi ini, Bung?” teman yang tadi menepuk pundaknya tertawa. “Seekor anak kucing kudisan lagi?”
Lelaki itu tidak menyahut. Hatinya terlalu gembira. Terlalu senang. Tuhan telah mendengar doanya selama ini.
Langkahnya tergesa menuju sebuah rumah sederhana di ujung jalan.
“Sumi! Sumi! Lihatlah apa yang kutemukan pagi ini!” lelaki itu berseru lantang. Seorang perempuan, lebih muda darinya membuka pintu dengan tergopoh.
“Seekor anak kucing lagi, Bang?”
“Bukan, Sum! Yang ini lain, orok! Tolong bantu merawatnya, ya.”
Perempuan itu terperangah. Tapi hanya sesaat. Jiwa keibuan lebih mendominasi. Diraihnya bayi dari tangan lelaki itu dan segera dibawanya masuk ke dalam kamar.
Lelaki itu menunggu dengan harap-harap cemas di ruang tamu. Ia berucap syukur ketika mendengar suara tangisan melengking. Tanpa terasa air matanya tumpah.
“Bang, bayimu selamat.” Perempuan paruh baya bernama Sumi menghampiri seraya membopong bayi dalam gendongannya. Lelaki itu mengumbar senyum.
“Tapi, Bang. Kita harus melaporkan penemuan orok ini kepada aparat berwenang.”
“Tidak perlu, Sum! Jangan! Aku ingin merawatnya. Aku kesepian...” lelaki itu menatap Sumi dengan sinar mata penuh pengharapan.
***
Seperti biasa, pagi masih mengulum sisa-sisa butiran kelam semalam. Lelaki itu menatap karung lusuh yang tersampir pada dinding dapur. Di atas meja telah tersaji secangkir kopi yang mengepul. Bunyi gemericik air dari bong bambu di belakang rumah membuatnya menguak daun pintu.
Dilihatnya bocah itu, yang kini telah beranjak menjadi perjaka bertubuh tegap, tengah membungkuk menggantang air pada kedua tangkup jemarinya.
“Basuhlah wajahmu, Nak. Dan curilah pagi sebanyak-banyaknya,” lelaki tua itu bergumam. Seulas senyum tersungging. Ya, ia boleh berbangga hati, anak temuannya delapan belas tahun silam kini telah siap menjadi seorang Taruna.
***
Malang, 25 Mei 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H