“Kau selalu berhasil menaklukkan pagi, Bang!” seseorang menepuk pundaknya. Lelaki itu hanya tertawa. Ia mengangkat tangannya sebagai pertanda pamit pergi. Tapi baru saja kakinya hendak melangkah, pandangan matanya tertuju pada sebuah bungkusan kresek hitam tak jauh dari tempatnya berdiri. Bungkusan itu bergerak-gerak.
Lelaki itu diam beberapa jenak. Apakah bungkusan itu berisi anak kucing lagi seperti yang ia temukan tempo hari lalu? Perlahan ia melangkah mendekati bungkusan itu dan tangannya bergerak menyentuh tas kresek warna hitam yang teronggok bersama sampah-sampah bau.
Ia nyaris terpekik ketika telinga tuanya mendengar bunyi lenguhan lirih. Dada lelaki itu berdegup. Kencang. Itu bukan suara anak kucing!
Tangannya yang kurus spontan meraih tas kresek di hadapannya dan membuka ikatannya dengan hati-hati. Sesosok bayi mungil, masih merah dengan ari-ari melekat pada pusar tengah bergerak-gerak lemah. Lelaki itu dengan gemetar mengeluarkan bayi itu dan mendekapnya erat-erat.
“Rezeki apa lagi yang kau temukan pagi ini, Bung?” teman yang tadi menepuk pundaknya tertawa. “Seekor anak kucing kudisan lagi?”
Lelaki itu tidak menyahut. Hatinya terlalu gembira. Terlalu senang. Tuhan telah mendengar doanya selama ini.
Langkahnya tergesa menuju sebuah rumah sederhana di ujung jalan.
“Sumi! Sumi! Lihatlah apa yang kutemukan pagi ini!” lelaki itu berseru lantang. Seorang perempuan, lebih muda darinya membuka pintu dengan tergopoh.
“Seekor anak kucing lagi, Bang?”
“Bukan, Sum! Yang ini lain, orok! Tolong bantu merawatnya, ya.”
Perempuan itu terperangah. Tapi hanya sesaat. Jiwa keibuan lebih mendominasi. Diraihnya bayi dari tangan lelaki itu dan segera dibawanya masuk ke dalam kamar.