Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menunggu Ayah Menangis

15 Maret 2017   17:40 Diperbarui: 15 Maret 2017   17:49 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua bocah itu bertaruh. Siapa yang bisa membuat Ayah menangis, boleh menikmati kue jahe yang masih hangat. Kue jahe itu pemberian Bibi Rose, tetangga baru mereka yang cantik dan baik hati.

"Kita acak-acak kamar, ya, Kak!" Jasmine berseru. Grace, yang usianya hanya selisih dua tahun dengan adiknya itu mengangguk. Lalu keduanya berhambur menuju kamar.

Jasmine mengambil gunting dari dalam laci. Kemudian ia melompat ke atas tempat tidur sambil menari-nari. Sementara Grace membuka kotak pensil. Meraih spidol permanen berwarna merah. Sembari tertawa riang ia menyusul adiknya melompat ke atas ranjang, hup!

Sebentar saja kamar yang semula rapi berubah berantakan. Bantal guling berserakan. Selimut jatuh ke lantai. Sprei kusut di sana-sini. 

Jasmine meraih satu bantal dan bersiap menggunting sarungnya. Ia membayangkan isinya akan berhamburan, berterbangan seperti kupu-kupu memenuhi ruangan. Pasti itu seru sekali.

"Kau yakin dengan cara itu Ayah kita akan menangis?" Grace menatap adiknya. Seketika tangan Jasmine berhenti. Tanpa sadar kepalanya menggeleng. 

"Kukira tidak. Minggu lalu kita pernah melakukan hal seperti ini. Tapi Ayah sama sekali tidak menangis. Bahkan ia tersenyum sembari mencium pipi kita." Jasmine kecil membalas tatapan kakaknya dengan pandang polos.

"Kalau kakak corat-coret tembok dengan spidol merah ini, apa Ayah akan menangis?" Grace membuka tutup spidol di tangannya. Kembali Jasmine menggeleng.

Kedua bocah itu lantas terdiam. Saling memandang. Grace buru-buru meraih pundak adik kesayangannya itu. Lalu merangkulnya dan membisiki sesuatu. 

"Kakak hebat! Pasti kali ini Ayah kita akan menangis!" Jasmine melonjak kegirangan.

***

Siang itu Ramon tidak melihat kedua putrinya berlari-lari menyambut kedatangannya. Telinganya juga tidak mendengar tawa riang mereka. Kemanakah anak-anak? Ramon membuka pintu rumah yang tidak terkunci lebar-lebar.

Bibi Rose, yang melihat Ramon celingak-celinguk segera datang menghampiri.

"Dua gadis kecilmu sejak tadi keluar rumah," ujar perempuan cantik itu memberitahu.

"Oh, ya? Tapi mengapa mereka tidak meninggalkan pesan?" Ramon menggerutu. Ia menatap papan tulis kecil yang terpampang di tembok ruang tamu. Biasanya anak-anak menuliskan pesan di sana jika mereka tidak berada di rumah.

"Mereka menitip pesan kepadaku," Bibi Rose tersenyum ke arah Ramon.

"Benarkah? Apa kata mereka?"

"Mereka bilang, Ayah tidak usah mencari kami. Kami bersenang-senang di dalam hutan."

Deg. Ramon berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.

***

Hari kian merayap. Grace menggandeng erat tangan adiknya. Mereka sesekali berlari-lari kecil, mengejar kupu-kupu atau rama-rama yang bersliweran di depan hidung mereka.

"Semalam hujan, ya, Kak. Tanah becek di sana-sini," mulut mungil Jasmine meracau. Mengalahkan kicauan anak burung. Grace tidak menyahut. Ia hanya mempererat pegangan agar sang adik tidak terpeleset jatuh.

"Sudah seberapa jauh kita dari rumah, ya, Kak?" Jasmine melirik kakaknya.

"Jauh bangeeet..." Grace menyahut. Mendengar itu Jasmine menghentikan langkah.

"Kita balik yuk. Takut tersesat. Lagi pula di dalam hutan ada nenek sihir yang suka memangsa anak-anak," Jasmine membelot. Grace menatap adiknya tak berkedip.

"Kalau kita balik pulang, kita nggak bakal melihat Ayah kita menangis!" Grace mengingatkan. 

"Tapi, Kak... aku lelah. Boleh rehat sebentar, kan?"

Grace mengangguk. Lalu membimbing adiknya duduk di atas sebatang pohon yang semalam tumbang menghalangi jalan.

***

Ramon meraih ransel yang tersampir di belakang pintu. Diisinya ransel itu dengan beberapa potong roti dan sebotol minuman. Ia juga memasukkan lampu senter, senapan angin dan obat-obatan untuk berjaga-jaga.

Sepanjang perjalanan lelaki itu mengeluh. Duh, anak-anak. Mengapa kelakuan mereka kian hari kian merepotkan. Ada-ada saja tingkah mereka. Selama tidak berbahaya, sih, ia masih bisa memaklumi. Tapi kalau sudah seperti ini, bermain-main ke dalam hutan, huft, Ramon memutuskan untuk mempercepat langkah.

Beruntung semalam turun hujan. Dengan begitu Ramon bisa mengikuti jejak sepatu kedua putrinya. Jejak-jejak itu kadang hilang tertutup rerumputan. Ramon mesti teliti mengamati jengkal demi jengkal agar ia tidak kehilangan arah.

Pada kesempatan lain, Ramon berhenti. Matanya lebih seksama mengamati jalanan. Sekarang ada banyak jejak. Oh, ada jejak yang lebih besar. Big foot! Ramon pun segera berlari kencang.

Lelaki itu terengah-engah. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Ia sangat mengkhawatirkan keselamatan kedua putrinya.

Big foot! Lagi-lagi pikiran Ramon tertuju pada mahluk itu. Oh, tidak, semoga kedua putrinya selamat.

Ramon berhenti saat melihat sebatang pohon yang tumbang. Ada bekas remah biskuit tercecer di sekitarnya. 

"Anak-anak baru saja duduk di sini," Ramon bicara sendiri. Mata lelaki itu memicing. Mencari-cari sesuatu. Tapi keadaan sekeliling sangat lengang.

Lalu matanya yang awas tertuju pada semak tak jauh dari tempatnya berdiri. Sesuatu bergerak-gerak di sana. Dan Ramon tahu apa yang tengah terjadi. Pergumulan!

Lelaki itu mengeluarkan senapan angin yang dibawanya. Ia siap membidik.

"Ayah!" itu teriakan Grace dan Jasmine. Mereka berlari-lari menyongsongnya. 

"Jangan tembak! Itu Bibi Rose. Ia sedang sibuk menangkap kelinci untuk kami."

Seketika Ramon membuang senjatanya ke tanah.

"Rose! Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah tadi kamu...."

"Ramon, kau lelet sekali. Bagaimana jika terjadi sesuatu terhadap anak-anakmu? Saat kau sibuk mempersiapkan bekal, aku berangkat lebih dulu menyusul mereka."

Ramon berdiri terpaku. Pandangannya turun ke arah kaki Bibi Rose. Perempuan itu memakai sepatu pemburu. Pantas saja ia meninggalkan jejak yang begitu besar.

"Anak-anak, kita pulang. Sebentar lagi hari petang," Bibi Rose menghampiri Grace dan Jasmine. Memeluk erat kedua bocah yang telah lama ditinggal pergi oleh Ibunya itu.

"Rose..." mata Ramon berkaca-kaca. Ia terharu menyaksikan ketulusan hati perempuan cantik itu. Ups, Ramon menangis! Untunglah Grace dan Jasmine tidak sempat melihatnya.

***

Malang, 15 Maret 2017

Lilik Fatimah Azzahra

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun