Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Air Mata Ken Dedes

18 Oktober 2016   17:40 Diperbarui: 18 Oktober 2016   17:45 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Romo Purwa baru saja berangkat ke hutan ketika laki-laki berkuda itu datang. Ia berdiri di ambang pintu dengan tatap mata yang membuatku gugup. 

"Apa kabarmu, Dinda Dedes?" 

"Oh, Kangmas Tunggul Ametung!"

"Boleh Kangmas masuk?"

"Kukira Kangmas paham, jika Romo tidak berada di rumah, aku tidak pantas menerima tamu."

"Ah, Dinda jangan bersikap begitu terhadap Kangmas," laki-laki itu memaksa masuk. Langkahnya berhenti tepat di hadapanku. 

"Dinda, Kangmas merindukanmu," ujarnya tiba-tiba seraya meraih tubuhku. Seketika lututku gemetar. 

"Kumohon Kangmas! Tindakanmu ini telah menjatuhkan wibawa Kangmas sebagai seorang akuwu," aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Tapi segala daya upayaku tak mampu mengalahkan hasratnya yang sudah menggebu. Laki-laki itu telah dirasuki setan.

Jaritku berhasil dikoyaknya.

"Biadab!!!" Lengkingan keras itu membuat Kangmas Tunggul Ametung melonggarkan pelukannya. Bergegas aku meraih jarit yang tercecer di lantai. Kubebatkan lagi pada tubuhku seraya menahan tangis.

Ayahku, Romo Purwa sudah berdiri di hadapan Kangmas Tunggul Ametung. Wajah beliau memerah padam. Giginya bergemelutuk. Di tangannya sebilah keris siap dihunuskan.  

Kangmas Tunggul Ametung berdiri tegap memasang kuda-kuda. Kukira ia akan melawan Romo Purwa, ayahku. Tapi aku keliru. Laki-laki itu tiba-tiba saja berbalik badan dan membopong tubuhku. Secepat kilat ia membawaku melesat bersama kuda putihnya.

"Romo..." jeritan tertahan serasa mencekik tenggorokanku.

***

Sehari semalam aku berurai air mata. Bujukan para emban sama sekali tak kuhiraukan. Makanan yang terhidang di atas meja pun sama sekali tak kusentuh.

"Ndoro putri harus makan. Jika tidak, Ndoro bisa sakit," seorang emban membisikiku. Aku tak menggubrisnya. Saat itu yang ada dalam benakku hanya wajah Romo Purwa. Tentu ayahku yang sudah sepuh itu sangat terpukul menyaksikan putri satu-satunya diculik oleh laki-laki yang sama sekali tak disukainya.

"Sebentar lagi Ndoro Tunggul Ametung akan rawuh ke kaputren ini. Kami akan membantu Ndoro Putri berhias," seorang emban memaksa menyisir rambutku yang kusut. Sementara emban yang lain menyiapkan air mandi bertabur kembang setaman.

"Ini malam bulan purnama, Ndoro. Malam yang sangat baik untuk sepasang kekasih memadu cinta," emban yang menyisir rambutku berbisik lagi.

"Kami bukan sepasang kekasih! Dan aku tidak mencintainya!" aku berseru marah.

***

Di luar bulan tengah bersinar penuh. Cahayanya menerobos masuk lewat jendela kamar yang sengaja kubiarkan terbuka. Aku duduk di tepi ranjang bersprei putih dengan bunga-bunga melati berserak di atasnya. Sementara Kangmas Tunggul Ametung mulai melucuti busananya.

"Dinda Dedes, malam ini engkau adalah garwaku. Maka wajib bagimu melayani Kangmas sebagai suami," ia berjalan menghampiri dan menyentuh pundakku. Dari pantulan cermin yang terpampang di dinding aku bisa melihat betapa murungnya wajahku. Betapa kosong mataku. Busana indah dan riasan yang terpoles sama sekali tak mampu menyembunyikan kepedihan hatiku.

Tiba-tiba saja aku ingin mati.

***

Bertahun aku menjadi istri seorang akuwu tanpa dasar cinta. Jika aku melayaninya, itu semata-mata karena kewajibanku. Aku tak punya pilihan lain.

Hingga suatu hari aku melihat dia. Pemuda tampan itu. Hatiku berdesir hebat.

"Emban, siapa dia?" tanyaku pada emban tua yang setia melayaniku.

"Siapa, Ndoro?"

"Pemuda itu."

"Pemuda yang mana?"

"Kusir kereta yang baru."

Aku mengatakan ini dengan tersipu. Mataku berbinar. Kukira emban sepuh itu pun menyadari. Ada pendar-pendar pelangi yang tak mampu kusembunyikan.

"Namanya Arok, Ndoro. Murid Brahmana Lohgawe."

"Oh, benarkah?"

"Ndoro ingin berkenalan dengan dia?"

Tetiba saja wajahku bersemu merah.

***

Tidak mudah bagiku untuk bisa bertemu pemuda bernama Arok itu. Suamiku, Kangmas Tunggul Ametung tidak pernah mengizinkan aku keluar dari kaputren tanpa seizin dia. Ketika suatu hari Kangmas akuwu mengajak aku plesir ke hutan Baboji, kesempatan emas itu tidak kusia-siakan. Aku telah merencanakan sesuatu.

Kukenakan busana paling indah. Kupoles wajahku dengan pupur yang terbuat dari rempah-rempah dan wewangian bunga. Bibir mungilku kuberi sedikit gincu dari buah pinang yang terbelah. Dan aku sengaja melangkah anggun menuju kereta yang sudah menunggu di halaman kaputren.

Aku melihatnya! Pemuda tampan bernama Arok itu. Ia tertegun menatapku. Aku tahu aku salah tingkah. Tapi aku tetap berusaha tenang. Degup jantung berusaha kuredakan. 

Saat menaiki tangga kereta aku sengaja menyibakkan jaritku lebih tinggi. Aku biarkan pemuda bernama Arok itu menikmati betis mulusku yang memancarkan cahaya.

Sebelum kereta mulai berjalan, kami sempat beradu pandang. Pemuda itu tersenyum. Aku melihat binar-binar cinta di matanya.

Cinta? Aku meraba dadaku. Tiba-tiba saja ada genang di sudut mataku.

Tuhan, ternyata perasaanku belum mati.

***

Malang, 18 Oktober 2016

Lilik Fatimah Azzahra 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun