Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Air Mata Ken Dedes

18 Oktober 2016   17:40 Diperbarui: 18 Oktober 2016   17:45 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kangmas Tunggul Ametung berdiri tegap memasang kuda-kuda. Kukira ia akan melawan Romo Purwa, ayahku. Tapi aku keliru. Laki-laki itu tiba-tiba saja berbalik badan dan membopong tubuhku. Secepat kilat ia membawaku melesat bersama kuda putihnya.

"Romo..." jeritan tertahan serasa mencekik tenggorokanku.

***

Sehari semalam aku berurai air mata. Bujukan para emban sama sekali tak kuhiraukan. Makanan yang terhidang di atas meja pun sama sekali tak kusentuh.

"Ndoro putri harus makan. Jika tidak, Ndoro bisa sakit," seorang emban membisikiku. Aku tak menggubrisnya. Saat itu yang ada dalam benakku hanya wajah Romo Purwa. Tentu ayahku yang sudah sepuh itu sangat terpukul menyaksikan putri satu-satunya diculik oleh laki-laki yang sama sekali tak disukainya.

"Sebentar lagi Ndoro Tunggul Ametung akan rawuh ke kaputren ini. Kami akan membantu Ndoro Putri berhias," seorang emban memaksa menyisir rambutku yang kusut. Sementara emban yang lain menyiapkan air mandi bertabur kembang setaman.

"Ini malam bulan purnama, Ndoro. Malam yang sangat baik untuk sepasang kekasih memadu cinta," emban yang menyisir rambutku berbisik lagi.

"Kami bukan sepasang kekasih! Dan aku tidak mencintainya!" aku berseru marah.

***

Di luar bulan tengah bersinar penuh. Cahayanya menerobos masuk lewat jendela kamar yang sengaja kubiarkan terbuka. Aku duduk di tepi ranjang bersprei putih dengan bunga-bunga melati berserak di atasnya. Sementara Kangmas Tunggul Ametung mulai melucuti busananya.

"Dinda Dedes, malam ini engkau adalah garwaku. Maka wajib bagimu melayani Kangmas sebagai suami," ia berjalan menghampiri dan menyentuh pundakku. Dari pantulan cermin yang terpampang di dinding aku bisa melihat betapa murungnya wajahku. Betapa kosong mataku. Busana indah dan riasan yang terpoles sama sekali tak mampu menyembunyikan kepedihan hatiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun