Baru saja Miss. Violet merapikan buku-buku yang berserak di atas meja ketika pria bertubuh kurus itu muncul di ambang pintu.
"Selamat sore, Miss. Maaf mengganggu kesibukan Anda."
"Tuan Harry?" Miss. Violet mengangkat alisnya. Pria kurus itu mengangguk.Â
"Saya sudah menunggu kedatangan Anda sejak tadi. Silakan duduk," Miss. Violet menarik sebuah kursi.
"Terima kasih, Miss. Anda sangat ramah sekali."
Miss. Violet berjalan memutari meja. Lalu ia duduk tepat berhadapan dengan Tuan Harry yang sore itu memakai jaket kulit berwarna coklat tua.
"Saya sudah membaca pesan Anda, Tuan Harry. Tentang pembunuhan di gerbang 3 KRL Bogor-Jakarta. Bisa Anda menceritakan kronologinya?"Â
Tuan Harry mengangguk. Ia membetulkan posisi duduknya sejenak.Â
"Dua puluh menit sebelum kRL berangkat saya sudah standby di ruang tunggu, Miss," pria kurus itu mulai bercerita. "Beberapa penumpang melakukan hal yang sama. Duduk berderet memenuhi kursi yang tersedia. Seorang perempuan, usia empat puluhan, mengenakan sweater warna krem dan berhijab, muncul tergesa dari peron sembari menenteng sebuah kopor. Ia tampak bingung. Mungkin ia tengah mencari tempat duduk yang kosong, demikian pikir saya. Maka sayapun berdiri. Mengalah. Saya mempersilakan perempuan itu menempati kursi saya.
Sekilas saya melihat wajah perempuan itu, cantik dan murung. Cuma itu. Selebihnya saya sibuk membalas pesan yang masuk ke dalam ponsel sembari berdiri."
"Masih ada kelanjutan ceritanya, bukan, Tuan?" Miss. Violet menatap tamunya tak berkedip.
"Entah suatu kebetulan atau apa, Miss. Di dalam kereta saya duduk bersebelahan dengan perempuan itu lagi. Kami saling mengangguk dan bertukar senyum."
"Pukul berapa kereta yang Anda tumpangi berangkat?" Miss. Violet menyela.
"Pukul 04.00 WIB"
"Hmm, silakan dilanjut."
"Saya sebenarnya tidak tertarik dengan keadaan sekeliling. Karena saya sudah terbiasa naik KRL ini. Tapi tidak pagi itu. Entah mengapa, ada perasaan aneh saat saya melihat perempuan berhijab itu."
"Maksud Anda?"
"Perempuan itu tampak gelisah. Sesekali matanya meredup. Lalu berair. Ia seperti menangis."
"Mungkin ia memang sedang menangis, Tuan."
"Anda benar, Miss. Ia memang sedang menangis. Matanya memerah. Berkali tangan kurusnya meraih tisu dari dalam tas kecilnya."
"Tentu hal itu sangat mengganggu Anda, ya, Tuan," Miss. Violet tersenyum.
"Benar, Miss. Saya yang semula asyik bermain ponsel, tiba-tiba ikut gelisah. Benak saya bertanya-tanya. Siapa perempuan ini? Mengapa ia tampak begitu sedih?"
"Anda tidak berusaha bertanya apapun padanya, Tuan?"
"Tentu saja tidak, Miss. Saya ini termasuk type orang yang tidak suka mencampuri urusan orang lain."
"Saya mengerti. Pria sejati sebaiknya memang bertindak seperti itu."
"Boleh saya melanjutkan cerita saya, Miss?"
Miss. Violet mengangkat tangannya.
"Sekitar separuh perjananan, suasana mulai hening. Para penumpang banyak yang masih mengantuk. Tidak terkecuali saya. Saya berangkat ke setasiun terlalu pagi. Saya ingin melanjutkan tidur di kereta. Tapi baru beberapa menit saya terlelap, seseorang tersandung kaki saya. Membuat saya membuka mata kembali. Perempuan berhijab itu, Miss, ia berdiri. Sepertinya bermaksud ke kamar kecil.Â
"Maaf!" seru saya seraya menarik kaki. Perempuan itu hanya mengangguk. Lalu sepeninggal dia, saya melanjutkan tidur lagi. Tapi sebelum itu saya sempat melirik ponsel untuk mengetahui putaran waktu. Saat itu pukul 04 lebih 25 menit.
Mungkin karena pengaruh AC yang terlalu dingin, saya terbangun dan ingin pergi ke toilet. Alangkah terkejutnya saya, kursi di samping saya masih kosong. Perempuan itu belum kembali. Saya menyalakan ponsel lagi untuk melihat jam. Ternyata sudah pukul 05.12. Sudah pagi."
Perasaan saya tiba-tiba merasa tidak enak. Kemana perempuan berhijab itu? Apakah dia berpindah tempat duduk? Tapi saya melihat barang-barangnya masih ada. Sebuah kopor di atas rak kereta dan tas tangan berwarna krem yang berisi sebuah dompet dan alat-alat kosmetik masih tergeletak di bangku yang ditinggalkannya. Karena was-was, saya bergegas menuju toilet yang terletak di gerbang bagian belakang."
Pria kurus itu menghentikan ceritanya sejenak. Ia menyeka wajah tirusnya dengan tisu. Miss. Violet membiarkannya. Wanita muda yang cantik itu beringsut sedikit dan menopangkan kedua sikunya di atas meja.Â
"Boleh saya minta segelas air putih, Miss? Tenggorokan saya terasa kering," pria itu menatap Miss. Violet ragu.Â
"Oh, tentu, Tuan. Dengan senang hati...." Miss. Violet berdiri. Ia berjalan menuju lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Diambilnya dua gelas air mineral. Satu untuk tamunya dan satu lagi untuk dirinya sendiri.
"Terima kasih, Miss. Saya akan melanjutkan cerita saya," pria kurus itu menyeruput minumnya.
"Silakan."
"Kereta berguncang saat saya berjalan menuju toliet. Suasana masih sepi. Tak satu pun penumpang yang bersuara. Sementara saya sudah tidak kuat menahan keinginan untuk buang air kecil. Setengah berlari saya membuka handel pintu toilet. Pintu dalam keadaan terbuka sedikit. Saya dorong segera. Terasa ada yang mengganjal. Saya ulangi lagi mendorong pintunya, Miss. Dan, astaga! Sesosok mayat tergeletak di bawah pintu bersimbah darah."
"Mayat perempuan itu?" Miss. Violet mendekatkan wajahnya. Pria kurus itu menggeleng.
"Bukan. Mayat seorang laki-laki. Bertubuh tambun."
Miss. Violet menghela napas.
***
Seorang perempuan bertubuh kurus, berhijab, turun dari KRL dengan tenang. Dia melenggang tanpa memedulikan barang-barangnya yang tertinggal di dalam kereta. Kedua tangannya ia tangkupkan di dada. Satu tangan memegang sebilah pisau yang berlumuran darah.
Esoknya pria kurus berjaket kulit datang menemui Miss. Violet, seorang detektif swasta yang masih muda dan cantik.
"Jadi apa yang bisa saya bantu?" Miss. Violet tersenyum begitu tamunya usai bercerita.
"Saya ingin Anda menemukan perempuan berhijab itu, Miss. Dia tiba-tiba saja menghilang. Saya khawatir polisi mencurigainya sebagai pembunuh laki-laki di dalam toilet gerbang 3 itu."
Miss. Violet berdehem.
"Anda berbohong, Tuan Harry. Anda tahu di mana perempuan itu bersembunyi. Perempuan itu adalah kekasih Anda," Miss. Violet menatap tamunya dengan tenang. Pria bertubuh kurus itu terkejut. Wajahnya seketika memucat.
"Bagaimana Anda tahu, Miss?"
"Oh, itu mudah sekali. Anda tadi mengatakan perempuan itu meninggalkan tas tangannya. Bagi seorang perempuan, ia tidak akan meninggalkan tas tangan yang berisi dompet dan alat-alat kosmetiknya begitu saja. Apalagi saat ia menuju kamar kecil. Tentu sebelum pergi ia telah menitipkan barang-barangnya pada Anda dan berpesan untuk menjaganya. Bagaimana mungkin perempuan itu mempercayakan barang-barangnya kepada orang yang tidak dikenal?"
Pria kurus itu terdiam.
"Satu lagi, bagaimana Anda tahu dalam tas tangan perempuan itu berisi satu dompet? Ada beberapa perempuan yang membawa lebih dari satu dompet, Tuan."
"Miss, saya...."
"Tuan Harry, sebaiknya Anda segera menyerahkan diri. Karena sepertinya kekasih Anda itu sudah tertangkap oleh polisi," Miss. Violet berdiri.Â
"Oh, ya, hampir lupa, pembunuh laki-laki tambun itu sebenarnya adalah Anda. Perempuan berhijab itu hanya membantu melumpuhkannya dengan bius cloroform. Mengapa Anda melakukannya? Karena Anda ingin menolong kekasih Anda yang setiap hari mengalami penyiksaan fisik dari suaminya yang pencemburu itu."
Di ambang pintu, Inspektur Ando Ajo, kakak Miss, Violet, sudah berdiri bersedekap. Menunggu.
***
Malang, 14 Oktober 2016
Lilik Fatimah Azzahra  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H