Beberapa odalisques seusiaku duduk berjejer di atas permadani empuk yang terbuat dari bulu-bulu domba. Cemilan kurma terhidang di atas meja berukir. Ruangan mewah bernuansa alami, dipenuhi kerlip lampu kristal dan wangi bunga-bunga seharusnya mampu membuat perasaanku nyaman. Tapi nyatanya tidak. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di ruangan ini, aku tak berhasil meredakan degup jantungku yang berpacu sangat kencang.Â
Seorang kasim memberi tanda padaku dengan anggukan kecil agar aku mendekat.
"Setelah ini giliranmu, bersiaplah," ujarnya seraya memutar telunjuk jarinya. Aku menyeka peluh yang mulai membasahi kening.
"Bergegaslah Azizah! Sultan tidak suka menunggu terlalu lama," setengah menghardik seorang perempuan bercadar menegurku. Kurapikan gamisku, menutupi sebagian wajahku dengan kerudung hingga tinggal mataku saja yang terlihat. Lalu dengan langkah gugup aku mengikuti kasim menuju sebuah ruangan besar.Â
Harem.
***
Beberapa menit aku berdiri terdiam bagai patung. Terpaku menatap sosok Sultan yang tengah duduk menyandarkan kepalanya di atas singgasana berornamen ukiran warna emas.Â
Sultan memandangiku dengan mata tak berkedip.
"Mendekatlah," telunjuk Sultan bergerak. Menghipnotisku. Aku beringsut maju. Berjalan sempoyongan hingga berdiri tepat di hadapannya.
Kami saling beradu pandang.
Sultan mengulurkan tangannya, mengangkat daguku. Lalu menarik kasar kerudung yang kukenakan dan melemparkannya begitu saja ke lantai. Rambutku yang ikal jatuh tergerai.