Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengantin Batara Kala

1 September 2016   09:21 Diperbarui: 1 September 2016   09:39 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih kuingat, bagaimana ibu selalu melarangku ke luar rumah ketika hari menjelang surup. Ada Batara Kala lewat, katanya. Ketika kutanya siapa Batara Kala itu, ibu malah meletakkan ujung jarinya di atas bibirku.

"Ssst, kita tidak boleh membicarakannya. Pamali."

Meski tidak paham dengan penjelasan ibu, toh aku tetap mematuhinya. Apalagi aku tinggal di sebuah desa terpencil yang masyarakatnya masih memegang teguh tradisi leluhur. Banyak aturan dan tata cara tidak tertulis yang mesti ditaati.

Dan aku semakin merasakan kungkungan tradisi itu, ketika tiba masanya harus menikah. Tradisi perjodohan.

"Bagaimana jika aku tidak mencintai suamiku?" aku menatap ibu. Setengah memprotes.

"Cinta akan datang dengan sendirinya, Asih. Seperti pernikahan ayah dan ibu. Dulu kami tidak saling mengenal. Buktinya kami bisa mencintai dan langgeng hingga sekarang," sahut ibu ringan.

"Zaman sudah berubah, Bu."

"Tapi tradisi harus tetap dijalankan."

Aku selalu tak berkutik menghadapi ibu. Meski dalam hati menentang, aku tak ingin dicap sebagai anak durhaka.

Sampai perasaan memberontak itu datang tak bisa kucegah.

Aku jatuh cinta pada Haris, seorang pemuda yang tengah mengadakan penyuluhan di desa kami. Haris bersama rombongannya, para mahasiswa jurusan pertanian kebetulan menginap di kediaman keluargaku. 

Pada pandangan pertama aku telah jatuh hati padanya. Kukira Harispun merasakan hal yang sama.

Diam-diam kami saling mengagumi. 

Di mataku Haris adalah sosok pemuda yang energik, santun dan pintar. Aku kerap mengintipnya dari balik jendela kamar saat ia memberikan penyuluhan yang digelar di pendopo depan rumah.

"Kinasih suka memperhatikan aku, ya..." ujarnya suatu pagi saat kami berpapasan. Aku yang berjalan menuju dapur untuk menjerang air, seketika menghentikan langkah. Wajahku memerah.

"Kinasih itu manis," ujarnya lagi. Membuatku semakin tersipu. "Juga prigel."

Duh, hanya dua orang yang pernah memujiku dengan kata prigel. Ibu dan pemuda tampan ini.

Saat kutuangkan kopi untuknya, rasanya jiwaku melayang. Hingga tanpa sengaja kopi yang kutuang dalam cangkir meluber tumpah.

"Pagi-pagi sudah melamun," tegur ibu seraya menyodorkan lap makan ke arahku. "Siapkan sarapan untuk mahasiswa-mahasiswa itu, Asih. Sekalian kirimi juga calon suamimu yang tengah mengawasi air di sawah."

Entahlah, mendengar daulat ibu, tetiba perasaanku resah.

"Hari pernikahanmu sudah dekat, Asih. Hindari sering-sering ngobrol dengan pemuda itu," tegur ibu lagi. Seketika dahiku mengernyit. Yah, seminggu lagi aku akan duduk di pelaminan, bersanding dengan lelaki yang sama sekali tidak mampu menggerakkan hatiku.

***

Periasku sudah datang sejak satu jam yang lalu. Tapi aku masih belum beranjak dari kamarku. Ibu berkali menggedor-gedor pintu, kuabaikan.

"Asih, hari sudah sore. Keburu surup! Tak baik temu manten selarut itu," terdengar suara ibu dari balik pintu. 

Surup? Ah, aku jadi teringat sesuatu. Mahluk bernama Batara Kala itu. Bagaimana cara aku mengundangnya?

Sengaja kuulur waktu.

Di luar orang-orang meriuh. Bunyi tetabuhan menghentak menyambut pengantin lelakiku datang. Perias sudah menuntunku menuju pelataran guna melakukan prosesi panggih.

Sarwo, pengantinku, menggenggam erat jemariku ketika kucium punggung tangannya. Matanya yang lebar menatapku nanar. Ia seolah ingin menerkamku yang sore itu berdiri di hadapannya dalam balutan busana pengantin adat. 

"Selanjutnya pengantin diarak mengelilingi desa," suara pranata cara memandu. Sarwo menjejeriku. Kami berjalan diikuti beberapa sanak saudara yang bertindak sebagai pengiring.

Surup benar-benar telah datang. Perias memandu langkah kami agar sedikit lebih cepat.

Langit kian gelap. Sesaat mataku menangkap sekelebat bayangan di balik pohon. 

Bulu kudukku berdiri.

Ia-kah sang Batara Kala itu?

Ketika arak-arakan melewati sebuah tikungan, sebuah tangan menghentakku, menarikku dengan cepat dan membawaku menghilang di sela-sela rerimbunan.

"Kinasih lenyap! Ia diculik Batara Kala!" 

Samar-samar kudengar teriakan beberapa orang. Riuh.

***

Di depan sebuah rumah mungil di atas bukit, kami berdiri berpelukan menikmati udara malam yang wangi. Sekawanan kunang-kunang berlalu-lalang bergantian memamerkan cahayanya yang remang.

"Akhirnya Batara Kala berhasil menyuntingmu," ujar lelaki tampan yang tengah memelukku.

Aku tersenyum. Menyandarkan kepalaku pada dadanya yang bidang.

"Haris, aku mencintaimu," bisikku.

***

Malang, 01 September 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Surup (Jawa)    = waktu menjelang magrib

 Panggih (Jawa)  = salah satu prosesi temu pengantin

 Prigel (Jawa)     = rajin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun