Aku jadi suka mengejar-ngejar Ibanez. Setiap ada kesempatan, aku berusaha meraihnya. Tapi beberapa orang kerap menghalangiku. Entah mengapa mereka selalu menyingkirkan Ibanez. Bahkan terkesan menjauhkannya dariku.
"Aku tak akan menyakitinya," ujarku pada orang-orang yang berdiri membentuk barikade di sekitar Ibanez. "Aku hanya ingin menyentuhnya."
Orang-orang itu menatapku sinis. Mulut mereka berkasak-kusuk. Bahkan ada yang meludahiku.
Meski begitu, perlakuan kasar mereka terhadapku tidak menyurutkan niatku untuk memperoleh Ibanez. Aku yakin suatu saat Ibanez pasti bisa kurengkuh.
*** Â Â
Akhirnya kesempatan itu ada. Suatu malam kulihat Ibanez tidur sendirian. Kemana orang-orang yang menjaganya? Apakah mereka sudah lelah menunggui Ibanez terus menerus?Â
Dengan berjinjit kudekati Ibanez. Ia sama sekali tidak terganggu oleh kehadiranku. Tidurnya masih pulas.
Kusentuh perlahan kulitnya yang halus dan lembut. Hmm...aku memejamkan mata. Ibanez yang indah.
Tiba-tiba hasrat itu muncul. Tanpa bisa kukendalikan lagi. Kuraih Ibanez. Kutempelkan ia pada dada sebelah kiriku. Lalu dengan penuh semangat aku mulai memainkannya.
Ibanez mulai mengeluarkan suara. Nyaring. Membangunkankan seisi rumah. Aku semakin bersemangat. Kakiku berjingkrak-jingkrak.Â
"Hentikan Gisel! Apa yang kau lakukan? Kau menyakiti bayimu sendiri1" sebuah teriakan membuatku menoleh.Â