"Tak banyak wanita di dunia ini yang sudi dimadu, Bram. Jika Zara salah satu di antara mereka, hargai itu."
Aku terdiam.Â
"Apalagi kita hidup di tempat yang masih sulit menerima poligami, sekalipun agama membolehkannya," lanjut Ibu lirih. Mungkin perih.
"Dan dampak dari penolakan itu, kian marak perselingkuhan," aku menyela dengan seulas senyum getir.Â
"Bram, itulah salah satu alasan mengapa ibu merelakan ayahmu berpoligami. Selain karena ayahmu ingin menyelamatkan wanita itu dari keterpurukan, ibu tak ingin melihat orang yang ibu cintai melakukan dosa tak terampuni. Perzinahan..." kembali ibu mengelus kepalaku.
Aku menatap wajah Ibu. Kulihat cinta yang tulus tersimpan dalam mata tuanya. Sayangnya banyak yang salah menafsirkan. Ketulusan Ibu menerima dimadu, dianggap sebagai kesalahan dan kebodohan besar.
"Biarlah orang mau bicara apa. Kami saling mencintai tidak hanya untuk di dunia, Bram. Tapi juga untuk di akhirat. Terlalu kejam bagiku membiarkan orang yang kucintai masuk neraka akibat berbuat dosa yang sebenarnya masih bisa kucegah."Â
Lalu keheningan menguasai.Â
Kami sama-sama diam.Â
Tapi kami tahu, semasing hati kami bicara cukup banyak.
*** Â