Tiada yang lebih membahagiakan selain berbagi. Kita bisa menikmati hidup dengan sesuatu yang kita peroleh, tapi kita hanya akan memperoleh arti kehidupan dengan sesuatu yang kita berikan. (Norman MacEwan)
Berkali aku membaca kalimat di atas. Memasukkan ke dalam otakku untuk kemudian mencernanya dalam hati. Sudahkah hidupku berarti? Jika sudah tentulah aku bahagia tidak saja secara lahir, tapi juga batin. Tapi kurasa aku belum berani untuk bahagia. Nyatanya aku masih berpikir seribu kali ketika suamiku, Mas Bram meminta izin untuk menikah lagi.
Aku masih bimbang. Untuk berbagi yang satu ini aku masih harus menghitung bintang.
Pernikahan ibarat surga. Di mana penghuninya halal mereguk manisnya madu bahagia. Lantas haruskah aku rela berbagi surga dengan yang lain? Bukankah untuk mendapatkan surga itu aku telah berjuang mati-matian selayak petarung di medan laga?Â
Tak ada jalan mulus untuk mencapai sebuah tujuan. Demikian juga dengan perjuanganku untuk mendapatkan cinta Mas Bram.
Mas Bram adalah surgaku. Imamku. Di hatinya kutemukan telaga ketenangan. Di matanya kunikmati keteduhan. Setiap sentuh jemarinya adalah kasih lembut yang kudamba. Dan, desah napasnya adalah asa kehidupanku.Â
Ah, perempuan, dari dulu selalu mengandalkan perasaan.
Ya, aku bukan Tuhan yang dengan ke-Mahapemurahan-Nya memberikan surga tanpa pilih kasih kepada makhluknya yang beriman. Aku hanya manusia biasa.Â
Sekali lagi, aku hanya seorang pecundang yang kalah sebelum berperang.
"Tak usah pergi. Tetaplah tinggal  bersamaku," Mas Bram menahanku. Tak ada yang berubah. Sikapnya masih tetap lembut. Jika ada yang berubah, kemungkinan itu adalah hatiku sendiri.
"Aku tak bisa berbagi," ujarku tanpa berani membalas pandang matanya. Â