Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[100HariMenulisNovelFC] (#31) Sang Pelarian

19 Mei 2016   07:30 Diperbarui: 19 Mei 2016   07:47 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
borneoclimatechange.org

Kisah sebelumnya http://fiksiana.kompasiana.com/elfat67/100harimenulisnovelfc-30-sang-pelarian_573a28b20f977315175924f4

"Jangan berteriak! Aku bisa saja melepas peluru ini sewaktu-waktu di kepalamu!" ancam pria bertopeng itu. Istri Dokter Marwan mengatur napas sesaat. Dahinya mulai berkeringat. 

Sementara Galuh yang duduk di sebelahnya menggigil ketakutan.

Pria bertopeng itu masih menempelkan ujung pistolnya pada pelipis perempuan cantik itu.

"A-pa yang kalian inginkan?" istri Dokter Marwan menyipitkan matanya. Pandangannya tertuju pada sopir taksi yang duduk tenang di belakang kemudi.

"Bisa tambah kecepatan, Bro? Kita bawa mereka ke markas!" pria bertopeng itu memerintah tanpa memedulikan pertanyaan istri dokter ahli bedah itu. 

Mendengar perintah dari pria bertopeng, sopir taksi segera tancap gas. Mobil sedan berwarna biru itu melaju dengan kencang menuju ke arah timur. 

Suasana tegang masih menyelimuti. Galuh menggenggam jemari ibu angkatnya. Gadis itu tak berani bersuara sepatah kata pun. 

Mobil terus melaju jauh meninggalkan tengah kota. Tak lagi terlihat gedung-gedung menjulang. Panorama berganti dengan deret pepohonan sepanjang jalan. Diam-diam Galuh mengamati. Ia berusaha mengingat jejak jalan yang telah dilewati. Ia menyimpan baik-baik apa yang dilihat di dalam memorinya. Gadis itu yakin, suatu saat nanti ingatan itu pasti akan sangat berguna.

Mobil memasuki kawasan perbukitan. Hamparan hutan cemara mulai terlihat dari kejauhan. Jalanan tak lagi mulus. Bongkahan batu dan tanah berlubang membuat mobil yang mereka tumpangi sesekali berguncang.

Satu jam kemudian, mobil memasuki area hutan cemara yang merimbun. Tak ada satu penumpang  yang bersuara. Kecuali bunyi derit roda mobil yang sesekali bergesekan dengan tanah berbatu.

Mobil berbelok ke arah sebelah kiri. Terlihat pagar bambu menjulang menutupi sebuah bangunan tua yang terbuat dari gelondongan kayu. Sopir taksi menghentikan kendaraan roda empat itu tepat di ujung halaman.

Pria bertopeng melompati jok dan membuka pintu mobil dengan kasar.

"Ayo, cepat turun!" ia membentak kedua perempuan itu. Dengan langkah gontai, istri Dokter Marwan keluar dari mobil diikuti oleh Galuh.

Sementara moncong pistol masih terus mengintai kepalanya.

***

Kedua perempuan itu digiring ke sebuah bilik kecil yang terletak di bagian rumah paling belakang. Hanya ada satu meja dan satu bangku terbuat dari papan mengisi ruang sempit itu. Pria bertopeng melepas penutup wajahnya. Sekarang tampaklah wajah aslinya.

"Telponlah sekarang juga suamimu yang dokter ahli bedah itu," ujarnya pada istri Dokter Marwan. Perlahan perempuan itu mengeluarkan ponselnya. Tangannya gemetar menekan nomor milik suaminya.

Panggilan masuk tersambung. Tapi tak ada yang mengangkat.

Perempuan itu mencoba sekali lagi. Tetap sama. 

Pria yang sejak tadi berdiri  mengawasinya dengan sigap merebut ponsel dari genggaman perempuan itu.

Pria itu melakukan panggilan ulang. Tak ada respon. 

Dengan geram dilemparkannya ponsel milik perempuan itu ke atas meja.

"Aku beri waktu beberapa jam lagi. Jika masih tidak diangkat, maka nyawa kalian adalah taruhannya," pria itu kembali mengancam.

***

Sementara di Rumah Sakit, Dokter Marwan bersama tim medis ahli bedah tengah mengadakan pertemuan. Dokter ahli bedah itu sengaja mematikan ponselnya agar pembicaraan serius mereka tidak terganggu. 

Jelang tengah malam dokter ahli bedah itu memutuskan untuk pulang. Ia meraih ponsel dari saku jaketnya. Memeriksa secara cermat jejak panggilan masuk. 

Ia agak terheran. Nomor istrinya beruntun muncul.

Pria itu pun segera menelpon balik.

Istri Dokter Marwan sudah terlelap. Kepala perempuan itu tertelungkup di atas meja. Sedangkan Galuh sama sekali belum mengantuk. 

Tetiba dilihatnya ponsel  milik ibu angkatnya berkedip-kedip. Serta merta diraihnya ponsel itu.

"Hallo, Papi?" ia berseru gembira.

"Ya, ini Galuh ya? Mana Mami kamu?" dari kejauhan Dokter Marwan menyahut.

Mata Galuh menyapu sekeliling. Setelah yakin suasana dirasa aman, gadis itu melanjutkan pembicaraan.

"Papi, kami diculik!"

Dokter Marwan terlonjak kaget.

"Diculik? Siapa yang menculik kalian? Apakah keadaan kalian baik-baik saja?" dokter ahli bedah itu bertanya panik.

"Papi, kami disekap oleh kawanan penjaha di tengah hutan cemara...."

"Bisa kamu tunjukkan letaknya, Galuh?"

Gadis itu baru saja akan mengatakan sesuatu, ketika secara mendadak sebuah tangan perkasa merebut ponsel yang dipegangnya dengan sangat kasar!

Bersambung....

***

Malang, 19 Mei 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Karya ini diikutsertakan Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun