"Bukankah sudah jelas Bunda Fatima tidak menyetujui rumah itu dijual?" aku mengingatkan laki-laki itu.
"Jangan ikut campur urusanku!" laki-laki itu menatapku bengis.
Kalau saja aku tidak teringat keselamatan Bunda Fatima juga perasaan Nenek, ingin rasanya aku menonjok wajah bengis laki-laki itu sekali lagi!
Â
***Â
Laki-laki itu melirik arloji di pergelangan tangan kanannya. Lalu menatap ke arah Nenek sejenak.Â
"Besok saya akan kembali lagi ke sini. Saya harap Ibu sudah menemukan surat-surat rumah yang saya inginkan," ujarnya sebelum pergi meninggalkan kami.
Sekali lagi, perempuan sepuh itu tidak menyahut.
Sepeninggal laki-laki itu, Nenek melambaikan tangan ke arahku. Memintaku supaya mendekat.
"Nak, percayakah kamu pada kata-kata Suki bahwa ia tidak mengetahui keberadaan Fatima?" Nenek menatapku. Aku menggeleng.
"Aku yakin ia berbohong," ujarku seraya duduk di samping Nenek.