[caption caption="Sumber gambar:videoujinyali.blogspot.com"][/caption]"Didi!" suara Bunda Lilik memanggil dari dalam rumah.
Didi D'kils yang sedang asyik membelai si Unyu segera menyahut, "Ya, Bun! Sebentar lagi!"
"Unyu, kamu masuk dulu ya, di luar udara dingin, ntar masuk angin," Didi mendorong tubuh si Unyu perlahan. Tapi tampaknya si Unyu tak bergeming.
"Walah, pake membelot segala. Ntar habis nganterin Bunda, kita ngobrol lagi yaa...," Didi mengelus punggung si Unyu lembut. Kali ini si Unyu, kambing betina titipan Mas Aji itu pun menurut.
***
Didi mengeluarkan motor bututnya.
"Nanti pulangnya jemput Bunda lagi ya," ujar Bunda Lilik seraya menenteng sebuah kopor besar.
"Jangan malam-malam ya, Bun. Suka takut lewat di daerah Gotong Royong. Lampu jalan di sana remang-remang," Didi menyahut.
"Takut apa-an, sih? Bunda sering lewat daerah situ nggak ada apa-apa kok."
"Kan Bunda lewatnya masih sorean."
"Ya, deh, ntar Bunda usahakan pulang duluan. Biar pengantinnya bongkar baju sendiri," akhirnya Bunda mengalah.
***
Didi sudah terkantuk-kantuk ketika ponselnya berdering. Ia membaca pesan dari Bunda minta segera dijemput.
"Di, pengantinnya nggak mau ditinggal. Nggak bisa bongkar make up sendiri katanya. Kita tunggu satu jam lagi ya. Kan belum terlalu malam," Bunda membisiki Didi. Didi terpaksa mengangguk.
Sembari menikmati alunan musik dangdut yang mendayu-dayu, Didi menikmati cemilan yang disuguhkan di atas meja. Sementara Bunda Lilik sibuk membantu fotografer mengatur posisi kedua mempelai dalam sesion pemotretan.
Ya, Bunda Lilik memang seorang perias pengantin. Bulan-bulan musim nikah begini, job rias Bunda lumayan banyak. Alhamdulillah....
Tak terasa Didi sudah menghabiskan sepiring kacang goreng, tiga buah pisang rebus dan dua gelas air mineral. Ia melirik arloji hadiah dari Guru Sarwo pas weton kelahirannya.
Walah, sudah hampir jam sebelas malam. Gawat nih....
Bersamaan itu Bunda Lilik muncul.
"Ayo, Di. Bunda sudah rampung."
Didi bergegas menuju motor yang terparkir di halaman rumah pemilik pesta pernikahan.
Â
***
Ketika melewati jalan Gotong Royong, Didi menambah kecepatan motornya.
"Bun, pegangan yang kuat, yaa...!!! Kita ngebut...!!!" Didi berseru. Bunda Lilik hanya bisa mengangguk. Meski dalam hati sempat terheran-heran. Kenapa juga nih anak takut banget lewat di daerah ini?
Didi nyaris terpekik. Sesosok tubuh tinggi semampai tiba-tiba muncul menghadang laju motornya. Sosok itu mengenakan gaun berwarna putih. Bedak tebal dan lipstik merah menyala menghiasi bibirnya.
Sosok itu melambaikan tangan ke arah Didi dengan gemulai. Saking takut dan kagetnya, Didi membanting stir ke kanan untuk menghindari penampakan yang sengaja menghadangnya itu.
Bunda Lilik yang duduk di boncengan sempat melihatnya. Naluri detektifnya pun muncul.
***
Sampai di rumah, wajah Didi masih tampak ketakutan. Bunda Lilik membuatkan Didi teh panas dan berusaha menghiburnya.
"Bunda sekarang percaya kan, kalo di jalan situ memang angker..." napas Didi ngos-ngosan.
"Memang tadi itu hantu? Sepertinya bukan," Bunda Lilik tersenyum.
"Kalo bukan hantu, trus apa-an, Bun?"
"Itu waria, Di. Mereka biasa mangkal di sana pada jam-jam seperti ini."
Didi melongo.
"Kok Bunda tau?"
"Ya, iyalah, Di. Kan Bunda sempat perhatikan tadi. Kakinya menapak di tanah. Berbulu. Mirip kaki kamu tuh. Trus dandanannya, menor banget. Cengar-cengir lagi."
Didi garuk-garuk kepala.
"Kamu nggak takut lagi kan, sekarang?" tanya Bunda Lilik. Didi terdiam sesaat.
'"Bun, kayaknya aku lebih takut sama waria deh, ketimbang hantu..." akhirnya Didi bersuara.
"Kenapa?"
"Hantu kan kalo minta bonceng, anteng. Lah, waria? Wuuaaah....!!! Ngeri deh ngebayanginnya...." Didi D'kils buru-buru masuk ke dalam kamar.
Tidur.
Ngelonin Berbi.
                                         ****
Malang, 04 Februari 2016
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H