[caption caption="Secangkir Kopi dan Senyum Mati"][/caption]Ia mati. Ya. Mati. Setelah menggelepar sebentar di depanku akhirnya ia mati.
"Kiera mati!" Karin menatapku gemetar.
Orang-orang berhambur mendekat. Merubung tubuh Kiera yang mengejang di lantai.
"Hei, perempuan ini mati!" seseorang berteriak.
"Panggil ambulan! Telpon Polisi!"
Suasana semakin gaduh.
***
"Bau sianida, racun." Dokter menoleh ke arahku. Entah mengapa dokter itu lebih suka menoleh ke arahku.
"Siapa perempuan yang mati ini?" dokter bertanya.
"Kiera. Teman kami," Karin yang menyahut.
"Kalian minum kopi bersama?" dokter menyipitkan matanya. Menatap aku dan Karin bergantian.
"Kenapa? Dokter heran karena kami tidak ikut mati?" tanyaku santai. Dokter itu terdiam.
***
Polisi menangkapku. Aku dinyatakan sebagai tersangka tunggal atas kematian Kiera. Aku dituduh sengaja membubuhkan racun pada kopi yang diminum Kiera hingga menewaskannya. Ini pembunuhan berencana! Begitu menurut mereka. Sungguh, aku tak berkutik lagi. Apalagi mengelak dari tuduhan keji itu.
Kini hampir semua mata tertuju ke arahku.
"Perempuan bangsat! Kau pembunuh anakku!" seorang laki-laki paruh baya meludahi wajahku. Polisi menarik lengan laki-laki itu dan membawanya menjauh dariku. Laki-laki itu meronta dengan kalap. Ia melontarkan makian beraneka nama binatang yang ditujukan padaku.
Aku tak bergeming.
"Dia benar-benar pembunuh berdarah dingin," seseorang berbisik, tertangkap oleh telingaku. Aku tersenyum tipis.
Para kuli tinta mengepungku. Membidikkan kamera berulang kali ke arah wajahku. Wajah yang menurut mereka cantik. Wajah yang tak pantas dimiliki oleh seorang pembunuh.
Itu jika memang benar aku ini seorang pembunuh.
Â
***
Kubiarkan para Polisi mengacak-acak kamarku. Mereka mencari bermacam bukti untuk memperkuat dugaan bahwa aku benar-benar pembunuh Kiera. Aku duduk santai menyaksikan para penyidik itu bekerja sembari menyeruput secangkir kopi. Ah, ya, dengan secangkir kopi pikiranku terasa jauh lebih tenang.
Sesaat aku teringat pada Kiera. Ia sudah mati, gumamku. Aku ikut mengantarkan jasadnya kemarin sore hingga ke pemakaman. Kutabur mawar merah kesukaannya di atas pusara yang masih basah. Aku bersimpuh. Tanpa air mata.Â
Bibirku bergetar. Sebelum meninggalkan makam, kuberi Kiera penghormatan terakhir. Selamat jalan sahabatku, damailah kau di sisi-Nya....
Seorang Polisi menghampiriku. Memberi kode dengan anggukan kecil agar aku bangkit dan ikut kembali ke rumah tahanan. Perlahan aku menyeruput kopi yang mulai mendingin. Kuhabiskan hingga tak bersisa. Termasuk ampas-ampasnya.
***
Yakinkah kau bahwa aku yang telah membunuh Kiera seperti dugaan banyak orang di luar sana?
Lagi-lagi aku dibuat tersenyum oleh berbagai asumsi yang mencuat. Tuduhan pasangan lesbi, cemburu, balas dendam dan ah, entah apa lagi. Beragam pikiran aneh memenuhi benak mereka. Semua orang sibuk menghibur diri. Ya, ya, aku memakluminya. Kegagalan menemukan motif penyebab kematian Kiera-lah yang membuat mereka bertindak semaunya sendiri.
"Siapa pengacara yang kau tunjuk untuk membelamu?" seorang Polisi menginterogasiku.
"Tidak. Aku tidak butuh pengacara. Jika kalian menyatakan aku bersalah, maka penjarakan saja aku," jawabku tenang. Polisi itu menatapku sejenak.
"Kau bisa dijerat hukuman mati," lanjut Polisi itu. Aku mengangguk. Tak terbersit rasa takut sedikit pun dalam raut wajahku. Mati? Ah, kedengarannya sangat menyenangkan.
***
Selang beberapa bulan kemudian, usai sidang yang sungguh sangat melelahkan, hakim mengetuk palu dan menyatakan aku murni bersalah. Hukuman mati pun siap dilaksanakan.
Bulan bersembunyi di balik awan ketika beberapa petugas menuntunku keluar dari ruang penjara. Sesaat sebelum dinaikkan ke dalam mobil, kedua mataku ditutup dengan selembar sapu tangan. Ah, aku mencium wangi aroma sapu tangan itu. Aku mengenalinya. Itu sapu tangan milik Kiera!
Mobil menderu perlahan meninggalkan halaman lapas. Sepuluh menit kemudian mesin mobil dimatikan. Sebuah lengan perkasa menggamit dan memapahku turun.
Lengang. Yang terdengar hanya langkah petugas berderap menyiapkan sesuatu.
Seseorang memegang pundakku. Memutar tubuhku tiga kali. Aku tersenyum. Perlakuan ini mengingatkanku pada permainan masa kecil. Srigendem. Semacam petak umpet dengan mata tertutup. Salah satu dari kami yang matanya ditutup, tubuhnya akan diiputar tiga kali. Setelah itu si mata tertutup wajib mencari posisi teman-temannya. Sungguh, permainan masa kecil yang sangat mengasyikan.
"Ada permintaan terakhir?" sebuah suara membuyarkan ingatanku.
"Ya. Aku ingin secangkir kopi," aku menyahut. Tak perlu menunggu lama, aroma kopi merebak membuat hidungku mencuat sedikit.
"Minumlah. Habiskan," ujar petugas yang tak bisa kulihat. Aku meraba cangkir kopi itu. Terasa hangat. Perlahan kunikmati isinya. Nikmat sekali.
Tetiba aku melihat Kiera muncul di hadapanku. Ia menatapku dengan wajah tirusnya yang pucat.
"Maafkan aku," ia menahan tangis.
"Tak apa Kiera. Aku senang kita akan bersama lagi. Tanpa hukuman ini pun aku akan mati. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Kau bisa saja membunuh dirimu sendiri dengan meminum racun itu. Tapi kau tak bisa membunuh kasih sayang yang kumiliki..." aku meneguk kopi di tanganku. Lalu, dooor!!!...dooor!!! bunyi senapan beruntun membuatku tersungkur di atas tanah.
***
Malang, 31 Januari 2016
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H