Selang beberapa bulan kemudian, usai sidang yang sungguh sangat melelahkan, hakim mengetuk palu dan menyatakan aku murni bersalah. Hukuman mati pun siap dilaksanakan.
Bulan bersembunyi di balik awan ketika beberapa petugas menuntunku keluar dari ruang penjara. Sesaat sebelum dinaikkan ke dalam mobil, kedua mataku ditutup dengan selembar sapu tangan. Ah, aku mencium wangi aroma sapu tangan itu. Aku mengenalinya. Itu sapu tangan milik Kiera!
Mobil menderu perlahan meninggalkan halaman lapas. Sepuluh menit kemudian mesin mobil dimatikan. Sebuah lengan perkasa menggamit dan memapahku turun.
Lengang. Yang terdengar hanya langkah petugas berderap menyiapkan sesuatu.
Seseorang memegang pundakku. Memutar tubuhku tiga kali. Aku tersenyum. Perlakuan ini mengingatkanku pada permainan masa kecil. Srigendem. Semacam petak umpet dengan mata tertutup. Salah satu dari kami yang matanya ditutup, tubuhnya akan diiputar tiga kali. Setelah itu si mata tertutup wajib mencari posisi teman-temannya. Sungguh, permainan masa kecil yang sangat mengasyikan.
"Ada permintaan terakhir?" sebuah suara membuyarkan ingatanku.
"Ya. Aku ingin secangkir kopi," aku menyahut. Tak perlu menunggu lama, aroma kopi merebak membuat hidungku mencuat sedikit.
"Minumlah. Habiskan," ujar petugas yang tak bisa kulihat. Aku meraba cangkir kopi itu. Terasa hangat. Perlahan kunikmati isinya. Nikmat sekali.
Tetiba aku melihat Kiera muncul di hadapanku. Ia menatapku dengan wajah tirusnya yang pucat.
"Maafkan aku," ia menahan tangis.
"Tak apa Kiera. Aku senang kita akan bersama lagi. Tanpa hukuman ini pun aku akan mati. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Kau bisa saja membunuh dirimu sendiri dengan meminum racun itu. Tapi kau tak bisa membunuh kasih sayang yang kumiliki..." aku meneguk kopi di tanganku. Lalu, dooor!!!...dooor!!! bunyi senapan beruntun membuatku tersungkur di atas tanah.