Kubiarkan para Polisi mengacak-acak kamarku. Mereka mencari bermacam bukti untuk memperkuat dugaan bahwa aku benar-benar pembunuh Kiera. Aku duduk santai menyaksikan para penyidik itu bekerja sembari menyeruput secangkir kopi. Ah, ya, dengan secangkir kopi pikiranku terasa jauh lebih tenang.
Sesaat aku teringat pada Kiera. Ia sudah mati, gumamku. Aku ikut mengantarkan jasadnya kemarin sore hingga ke pemakaman. Kutabur mawar merah kesukaannya di atas pusara yang masih basah. Aku bersimpuh. Tanpa air mata.Â
Bibirku bergetar. Sebelum meninggalkan makam, kuberi Kiera penghormatan terakhir. Selamat jalan sahabatku, damailah kau di sisi-Nya....
Seorang Polisi menghampiriku. Memberi kode dengan anggukan kecil agar aku bangkit dan ikut kembali ke rumah tahanan. Perlahan aku menyeruput kopi yang mulai mendingin. Kuhabiskan hingga tak bersisa. Termasuk ampas-ampasnya.
***
Yakinkah kau bahwa aku yang telah membunuh Kiera seperti dugaan banyak orang di luar sana?
Lagi-lagi aku dibuat tersenyum oleh berbagai asumsi yang mencuat. Tuduhan pasangan lesbi, cemburu, balas dendam dan ah, entah apa lagi. Beragam pikiran aneh memenuhi benak mereka. Semua orang sibuk menghibur diri. Ya, ya, aku memakluminya. Kegagalan menemukan motif penyebab kematian Kiera-lah yang membuat mereka bertindak semaunya sendiri.
"Siapa pengacara yang kau tunjuk untuk membelamu?" seorang Polisi menginterogasiku.
"Tidak. Aku tidak butuh pengacara. Jika kalian menyatakan aku bersalah, maka penjarakan saja aku," jawabku tenang. Polisi itu menatapku sejenak.
"Kau bisa dijerat hukuman mati," lanjut Polisi itu. Aku mengangguk. Tak terbersit rasa takut sedikit pun dalam raut wajahku. Mati? Ah, kedengarannya sangat menyenangkan.
***