Tapi niat itu kuurungkan, Bay. Karena tetiba kulihat di setiap bulirnya terpantul wajah manismu. Memapar senyum rindu menggodaku.
"Bay...," setengah sadar aku berucap.
"Selamat pagi, Ra!" kau mengedipkan matamu, nakal.
"Bay, mimpikah aku?" aku tak mempercayai pandanganku. Kau tertawa. Renyah. Hujan pun ikut tertawa.
"Tunggu, pasti ini hanya mimpi," aku menggeser tubuhku. Merapat pada bibir jendela.
Angin bertiup kencang. Bulir hujan meliuk menggelinjang menyentuh wajah piasku. Terasa hangat. Oh, bukan. Lebih dari sekedar hangat. Karena sesaat kurasakan darahku bergelegak. Sesaat, Bay. Ketika dalam bulir bening itu kau mendaratkan ciuman bertubi di kedua katup bibirku.
"Cukup, Bay! Jangan lakukan ini. Jangan biarkan aku selamanya terjebak mimpi tak berkesudahan," aku menghapus percik hujan di wajahku. Mataku nanar.
Sepi. Tak ada sahutan. Yang terdengar hanya gemericik hujan mengiringi ketiadaanmu.
Â
***
 Malang, 17 Desember 2015