Â
Kau tahu, aku benci Desember. Karena Desember tak pernah peduli pada perasaanku. Karena Desember tak pernah sekali pun berubah. Selalu sama. Dingin dan basah.
Sekali lagi, aku benci Desember. Sialnya lagi, Desember yang kubenci selalu datang tepat waktu. Menemuiku. Dan ia tidak sendiri. Ia membawa serta hujan yang dengan pongahnya menari di hadapanku. Lalu tanpa sungkan mengusik kembali alam bawah sadarku. Memaksa aku untuk menatap kembali jejak kenangan masa lalu yang bilur-bilurnya masih jelas tertinggal.
Ya, hujan dengan kurang ajarnya membuka kenangan tentang kita, Bay. Tentang kisah indah di tengah padang rumput ilalang sesaat sebelum senja menghilang. Juga menguak harapan semu dari jiwa yang nyaris mati karena patah hati.
Seperti labirin, hujan membuatku tersesat. Terbelenggu. Hingga tak kutahu jalan mana yang mestinya kutempuh agar aku bisa kembali.
Kau tahu bagaimana mengusir Desember agar ia tak lagi berdiri angkuh menatapku, Bay? Selalu, Desember tiada henti mengejekku. Menertawakan aku dengan tumpah ruah rinainya di sepanjang waktu. Tanpa sedikit pun memberi kesempatan padaku untuk berlari atau sekedar bersembunyi.
Seperti pagi ini, saat kubuka jendela kamar, percik air sudah menyapaku.
"Selamat pagi pemimpi!"
Pemimpi? Apa benar aku ini seorang pemimpi, Bay? Hh, enak saja hujan mengatakan aku ini pemimpi.
Aku bukan pemimpi kan, Bay? Aku ini hanya sebutir debu yang bersikeras menjadi kerikil. Agar saat terhempas badai aku masih bisa tersangkut dan bertahan di balik dedaunan.
Hujan memang kelewatan. Ingin aku memakinya agar ia tidak sembarangan menuduhku.
Tapi niat itu kuurungkan, Bay. Karena tetiba kulihat di setiap bulirnya terpantul wajah manismu. Memapar senyum rindu menggodaku.
"Bay...," setengah sadar aku berucap.
"Selamat pagi, Ra!" kau mengedipkan matamu, nakal.
"Bay, mimpikah aku?" aku tak mempercayai pandanganku. Kau tertawa. Renyah. Hujan pun ikut tertawa.
"Tunggu, pasti ini hanya mimpi," aku menggeser tubuhku. Merapat pada bibir jendela.
Angin bertiup kencang. Bulir hujan meliuk menggelinjang menyentuh wajah piasku. Terasa hangat. Oh, bukan. Lebih dari sekedar hangat. Karena sesaat kurasakan darahku bergelegak. Sesaat, Bay. Ketika dalam bulir bening itu kau mendaratkan ciuman bertubi di kedua katup bibirku.
"Cukup, Bay! Jangan lakukan ini. Jangan biarkan aku selamanya terjebak mimpi tak berkesudahan," aku menghapus percik hujan di wajahku. Mataku nanar.
Sepi. Tak ada sahutan. Yang terdengar hanya gemericik hujan mengiringi ketiadaanmu.
Â
***
 Malang, 17 Desember 2015
Lilik Fatimah Azzahra
*Sumber gambar:www.jadipintar.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H