Â
Seperti biasa, siang itu sepulang sekolah Airin menjajajakan dagangannya di sepanjang pantai. Kaki mungilnya yang tak beralas sesekali menyeruak pasir putih yang lembut. Jejaknya membekas membentuk guratan berkelok-kelok.
Beberapa wisatawan hilir mudik menikmati angin laut. Airin tidak pernah bosan menawarkan barang dagangannya. Ia sangat gembira ketika di antara pengunjung pantai ada yang melambaikan tangan dan berkenan membeli barang dagangannya.
"Permen, kacang! Air mineral juga ada. Mari, Pak, Bu. Please, Mister...."
Airin berusia sepuluh tahun. Masih kelas 4 SD. Ia tinggal bersama ibu dan dua orang adiknya di kampung nelayan. Ia menjadi pedagang asongan semenjak ayahnya meninggal satu tahun yang lalu.
Siang itu udara cukup terik. Airin berhenti sejenak melepas lelah. Ia menghempaskan diri di atas pasir yang hangat. Kaki mungilnya berselonjor.
Ia menggerak-gerakkan ujung kakinya untuk menghilangkan rasa pegal. Tapi secara mendadak gerakannya terhenti. Ia nyaris terpekik. Sesuatu menyentuh ujung jemari kakinya. Terasa keras dan dingin.
Airin menyeruak pasir di ujung kakinya itu. Ah, ternyata sebuah botol. Ia meraih botol itu dan mengamatinya.
Botol itu terbuat dari kaca berwarna hijau transparan. Seukuran botol minyak goreng milik ibunya di rumah. Mulut botol itu tersumpal karet.
Jantung Airin berdebar. Jangan-jangan di dalam botol ini ada Jin yang terpenjara! Ia teringat dongeng yang pernah ia baca. Dongeng tentang Jin yang terperangkap berabad-abad di dalam botol. Ih, Airin bergidik. Takut.
Airin bermaksud melempar botol itu jauh-jauh. Tapi niat itu diurungkan manakala ia melihat isi botol tersebut. Tampak sebuah gulungan kecil berwarna putih. Rasa penasaran Airin muncul.