Â
Keterlibatan Muhammadiyah dalam pelaksanaan pemerintahan Indonesia terbagi menjadi hard politics dan soft politics. Tindakan Muhammadiyah yang termasuk dalam soft politics antara lain melalui; penentangan terhadap peraturan pemerintah Belanda akan kewajiban pembayaran pajak bagi muslim yang melaksanakan kurban, penuntutan peradilan agama islam kepada pemerintahan Hindia Belanda, ikut andil dalam memelopori nilai nasionalisme dan cinta tanah air pada umat islam melalui pidato khutbah atau majalah milik Muhammadiyah, dan penolakan tindakan sei-kerei (menyembah matahari simbol penghormatan terhadap Tenno Heika) pada zaman penjajahan Jepang.Click or tap here to enter text.
Â
      Sementara tindakan Muhammadiyah yang termasuk hard politics dapat ditelaah sejak zaman penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Di awal Orde Baru tahun 1968, Muhammadiyah sempat mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang digadang sebagai penerus Partai Islam Masyumi dimana sebelumnya telah dihapuskan oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1960. Namun, tidak berselang lama kader Sekretaris Utama Parmusi, Lukman Hakim dikudeta oleh J. Naro. Muhammadiyah juga berani mengkritik Orde Baru dengan berasaskan high politics yang diprakarsai oleh Amien Rais. Asas ini menginginkan seluruh kegiatan politik dilandaskan nilai-nilai keagamaan, sehingga politik dan agama beintegrasi menjadi satu-kesatuan utuh. Click or tap here to enter text.
Â
Dinamika perpolitikan Muhammadiyah dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu; Periode 1966-1973, munculnya kebijakan orientasi politik Muhammadiyah yang bermacam-macam; Periode 1973-1985, ketika elite politik yang islamophobia berkuasa mengakibatkan hasil kebijakan tidak memberikan keuntungan terhadap umat islam; dan Periode 1985-1998, membaiknya hubungan antara pemerintahan dengan umat islam(Jurdi, 2006). High Politics yang dimaksud Muhammadiyah adalah, bahwasanya Muhammadiyah tidak buta akan politik, namun Muhammadiyah bukan oraganisasi yang ber-afiliasi pada politik. Maka apabila ada permasalahan politik yang mengganggu berjalannya syariat islam, secara otomatis Muhammadiyah akan mencari jalan keluarnya sesuai dengan kemampuan, langkah-langkah, dan ritme yang biasa diterapkan Muhammadiyah (Rais,74).
Â
Muhammadiyah juga banyak membantu pemerintah dalam proses pengambilan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam melaksanakan MT-PPI (Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam), Muhammadiyah berpedoman pada 2 manhaj, yaitu Manhaj Ijtihad hukum dan Manhaj pengembangan pemikiran islam. Sementara sumber hukum bagi Muhammadiyah ada 2 pula yaitu, al-Qur'an dan al-Sunnah (LPPI UMY, 2000).
Â
KesimpulanÂ
Â