Mohon tunggu...
elangyk98
elangyk98 Mohon Tunggu... Penulis - enterprenuer

Lahir di kota Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sistem Ekonomi Ahok

10 September 2016   01:31 Diperbarui: 10 September 2016   01:41 2514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : http://jakarta.bps.go.id/backend/brs_ind/brsInd-20160104160357.pdf

Gini ratio atau tingkat kesenjangan yang disebutkan oleh Muni Usmar tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur atau parameter yang berdiri sendiri, Gini Ratio atau yang lebih dikenal dengan zaman orde baru sebagai tingkat pemerataan pendapatan berhubungan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Beberapa ahli ekonomi bahkan mengatakan bahwa banyak factor yang mempengaruhi dalam perhitungan gini ratio, sehingga gini ratio tidak bisa dijadikan tolok ukur perhitungan makro ekonomi. 

Tapi pada umumnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan tingkat gini ratio yang semakin meningkat, secara sederhana sebuah wilayah yang tingkat pertumbuhan ekonominya makin tinggi pada umumnya tingkat kesenjangan pendapatan makin tinggi. Sebagai Ibukota Negara RI tentu saja pertumbuhan ekonomi melebihi dari wilayah lainnya yang berada di Indonesia dan sesuai teori Pertumbuhan meningkat kesenjangan meningkat, Ahok menerapkan Prinsip keadilan Sosial seperti yang telah disebutkan diatas oleh penulis. Gini ratio bukan satu parameter namun banyak parameter dan Propinsi DKI Jakarta telah berhasil menurunkan semua parameter gini Ratio (lihat Data BPS DKI Jakarta diatas).

Musni Umar juga menyebutkan Garis kemiskinan sebesar Rp 503.308/bulan atau Rp 16.768/hari, angka tersebut memang sesuai dengan BPS DKI Jakarta dan beliau menganggap bahwa uang tersebut tidak cukupuntuk biaya hidup di DKI. Musni Umar benar jika angka itu adalah penghasilan absolute artinya uang bagi warga miskin memang sebesar itu atau dibawahnya, tapi jangan lupa Ahok memberikan fasilitas Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Sehat, Kjs, transport gratis dan beberapa kebutuhan pokok gratis. 

Keperluan sekolah anak gratis, bila ada anggota keluarga sakit kerumah sakit gratis bahkan kebutuhan sekolah anaknya dengan KJP bisa membeli tanpa bayar di toko-toko yang melayani KJP. Secara absolute riil pendapatan mereka bukan lagi Rp 503.308 bahkan mungkin bisa melebihi dari 3 juta perbulan. Apalagi Ahok membangun pasar-pasar dengan memberikan subsidi pada beberapa barang kebutuhan pokok sehingga makin terjangkau bagi warga miskin. 

Misalnya harga daging di DKI sekarang 80 ribu/kg sedangkan di daerah lain masih 120 ribu/kg maka nilai uang di DKI bila dikoversikan ke daging sapi 503.308/80 ribu akan diperoleh 6,3 kg sedangkan daerah lain hanya memperoleh 503.308/120 ribu = 4,2 kg daging sapi. Dengan kata lain uang sebesar 503.308 di DKI lebih besar nilainya dibanding daerah lain.

Point tentang meningkatnya pengangguran dan makin meningkatnya korupsi penulis tidak menanggapinya karena penuh dengan asumsi subyektif dan tidak ditunjukkan dengan data yang akurat, apalagi point tentang makin besarnya tingkat korupsi DKI yang menyebutkan kasus reklamasi yang dilakukan oleh DPRD DKI, seperti diketahui kasus tersebut bukan merupakan tanggung jawab eksekutif. 

Terlebih-lebih menyatakan sumber waras sebagai kasus korupsi padahal sudah dinyatakan oleh KPK bahwa tidak ada korupsi dalam kasus sumber waras. KPK adalah lembaga yang berwenang menyatakan kasus tersebut memenuhi unsur korupsi atau tidak ada unsur korupsi, namun Muni Umar yang hanya sebagai ahli sosiologi masih tetap ngotot menyatakan kasus tersebut korupsi. Pembaca bisa menilainya sendiri.

Tentang penggusuran penulis menganggap sebagai sosiolog kurang bijak menanggapi kejadian tersebut. Penggusuran manapun di dunia adalah tindakan yang tidak manusiawi namun penyelesaian Gubernur DKI dengan merelokasi warga ke Rusun dan memberikan mereka fasilitas KJP, KJS, perabot rumah tangga lengkap, biaya transport gratis adalah lebih bermartabat dibandingkan dengan penggusuran lainnya yang terjadi di wilayah Indonesia lainnya.

Akhir kata, Judul artikel Menata Ibukota yang manusiawi dan budaya menjadi tidak berbudaya karena penyesatan data. Moga-moga tulisan ini agak mencerahkan…………….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun