Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pengalaman Sakit Corona adalah Pengalaman Menikmati Birokrasi yang Indonesia Banget

6 April 2022   21:49 Diperbarui: 6 April 2022   21:59 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, bahkan saya tidak menerima penanganan medis dari puskesmas, jadi saya agak bingung juga kenapa semua data diri saya dimintakan.

Kedua, bahkan saya dapat obat dari Kemenkes tidak dimintakan nomor BPJS, ini saya gak ngapa-ngapain dimintain di Puskesmas.

Ketiga, alasan dari Puskesmas adalah tracing. Masalahnya semua data itu sudah ada di pemerintahan, dari nomor telefon, NIK, vaksin berapa kali dan apa saja, sampai saya berapa kali kencan saya yakin Kemenkes juga tahu. 

Bahkan Bidan Puskesmas juga saya tahu ketika registrasi pakai nomor NIK, dan semua data terkait Per-Covid-an ini sudah langsung muncul dari kemenkes. Tapi ini kenapa perpanjangan tangan terdepan Kemenkes masih harus minta lagi, apakah tidak ada pengintegrasian data, atau apakah Puskesmas tidak diberi akses sama sekali? 

Saya tes PCR, kan dari klinik datanya disetor ke Kemenkes, nah dari Kemenkes diberitahu ke Puskesmas. Buat apa pula dimintakan lagi tes PCR saya?

 I mean, 2022, semua data sudah online masa iya kita masih harus registrasi berulang-ulang. Ada kemajuan sih at least, tadinya fotocopy, sekarang cukup difoto. Tapi bukannya, nilai plus data elektronik itu ya, karena mudah disebar antar level pemerintahan gak perlu dimintakan terus-terusan.

Keempat, kenapa kantor pemerintahan suka banget minta Kartu Keluarga, ini hubungannya dengan tracing apa ya?

Makin-makin ketika ibu saya datang ke puskesmas untuk melakukan tes PCR. 

Hasilnya, ditanyakan tentang keadaan saya, kemudian disuruh pulang. Samapai rumah dimintakan rincian serupa yang sangat panjang tersebut, baru saat malam dikabarkan kalau bisa tes antigen. Saya hanya bisa menyalahkan diri sendiri kenapa tidak melarang ibu saya ke Puskesmas dan menyarankan dia pergi ke klinik swasta saja.


Sudah disuruh pulang, besoknya disuruh balik lagi, ngisi data seabrek cuma buat tes antigen, bahkan bukan PCR. Untung saja ibu saya sangat beretika terkait Covid-19, bayangkan jika tidak, mungkin sudah keliling pasar sambil belanja. Kalau besoknya terdeteksi postif kan kacau.

Yang bikin saya tambah gatal, ketika saya bilang "Puskesmas Desa" sebenarnya saya tidak tinggal di desa yang sangat pelosok, desa saya hanya sekitar 50 kilometer dari Istana Merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun