Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pengalaman Sakit Corona adalah Pengalaman Menikmati Birokrasi yang Indonesia Banget

6 April 2022   21:49 Diperbarui: 6 April 2022   21:59 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu ini saya terkena penyakit Covid-19, sebenarnya saya mengalami gejala yang cukup ringan pilek dan batuk sedikit, mungkin karena saya sudah vaksin tiga kali. Bahkan saya hampir tidak menyadarinya kalau tidak diminta untuk melakukan test PCR setelah ada rapat yang cukup panjang bersama teman kantor saya. 

Jadi pengalaman corona saya mungkin tidak dramatis, tapi yang saya sadari adalah betapa birokrasi Indonesia itu Indonesia banget. 

Sangat bhineka, satu sisi saya percaya Indonesia bisa masuk revolusi industri 4.0 (entah apalah artinya itu). Di sisi lain kok budaya birokratis kita masih sangat membudaya ya....

Ketika Saya Percaya Indonesia Bisa Masuk Revolusi Industri 4.0

Ketika saya terdeteksi positif Covid-19, saya langsung takjub, sebab tidak lama setelah saya mendapatkan hasil tes PCR saya ada chat dari Kemenkes RI yang masuk. Sayangnya isinya bukan tawaran jadi PNS, tapi at least ada tawaran untuk obat gratis yang bisa dipake saat online. Saya coba ikuti linknya, mengisi NIK saya di website kemenkes, lalu saya registrasi dengan mengisi data diri saya di webside provider layanan kesehatan.

BOOM, saya mendapatkan chat berisi kupon gratis untuk konsultasi dokter. Saya download aplikasinya, lalu saya bisa langsung berkontak dengan dokternya. Setelah menjelaskan keluhan, saya dapat resep via e-mail. Kemudian saya registrasikan ke website Kemenkes, dan ada kabar bahwa obat saya sedang diantar. 

Tidak sampai 24 jam, obatnya datang dan saya bisa "menikmati" delapan butir Favipirafir. Plus saya cukup salut betapa aplikasi peduli lindungi mencatat semua perjalanan saya, plus mall dan cafe yang telah saya kunjungi.

Wah jadi ini ya, big data, revolusi industri 4.0, tidak tipu-tipu lah.

Semua Berubah Ketika Puskesmas Desa Mengirim Pesan WhatssApp

Saya agak kaget ketika ada orang mengaku dari bidan puskesmas mengirim pesan ke saya, setelah saya konfirmasi ke Pak RT ternyata betul nomor tersebut adalah nomor bidan Puskesmas. Awalnya menanyakan, apakah saya dapat obat dan vitamin, karena kalau tidak akan dikirimkan dari puskesmas.

Saya jawab dengan jujur, saya sudah dapat. Untuk vitamin bahkan sudah dapat bonus dari kantor.

Yang saya agak terkaget adalah ketika saya dimintakan:

Nama :
NIK :
No. Hp :
No. BPJS :
Tgl Lahir : 00/00/0000
Jenis kelamin : 

Pekerjaan :
Alamat rumah :
Desa :
RT :
RW :
Kecamatan :
Kabupaten :
Alamat tempat kerja :

Tgl pertama timbul gejala : 00/00/0000
Demam : ada/tidak
Batuk/pilek : ada/tidak
Sesak napas : ada/tidak
Sakit kepala : ada/tidak
Lemah : ya/tidak
Hilang indera perasa : ya/tidak
Hilang indera penciuman : ya/tidak

Riwayat penyakit : Asma/TBC/Thypus/DBD/Penyakit Magh/Hepatitis/dll
Riwayat perjalanan :
Riwayat vaksinasi : Sinovac/Astra Zeneca/Pfizer/Moderna/Johnson&Johnson
Dosis ke 1 : 00/00/0000
Dosis ke 2 : 00/00/0000
Dosis ke 3 : 00/00/0000
Lokasi pelayanan vaksinasi :

Riwayat pemeriksaan :
Pemeriksaan : Swab Antigen/Swab PCR
Tanggal pemeriksaan : 00/00/0000
Lokasi pemeriksaan :
Hasil pemeriksaan : positive/negative

Plus foto kartu keluarga.

Plus foto KTP.

Plus Foto PCR.

To be fair, memang ada yang bisa dijustifikiasi sih, seperti gejala sangat mungkin pada saat awal terdeteksi Covid-19 tidak muncul, kemudian muncul belakangan.

Namun ada banyak yang janggal:

Pertama, bahkan saya tidak menerima penanganan medis dari puskesmas, jadi saya agak bingung juga kenapa semua data diri saya dimintakan.

Kedua, bahkan saya dapat obat dari Kemenkes tidak dimintakan nomor BPJS, ini saya gak ngapa-ngapain dimintain di Puskesmas.

Ketiga, alasan dari Puskesmas adalah tracing. Masalahnya semua data itu sudah ada di pemerintahan, dari nomor telefon, NIK, vaksin berapa kali dan apa saja, sampai saya berapa kali kencan saya yakin Kemenkes juga tahu. 

Bahkan Bidan Puskesmas juga saya tahu ketika registrasi pakai nomor NIK, dan semua data terkait Per-Covid-an ini sudah langsung muncul dari kemenkes. Tapi ini kenapa perpanjangan tangan terdepan Kemenkes masih harus minta lagi, apakah tidak ada pengintegrasian data, atau apakah Puskesmas tidak diberi akses sama sekali? 

Saya tes PCR, kan dari klinik datanya disetor ke Kemenkes, nah dari Kemenkes diberitahu ke Puskesmas. Buat apa pula dimintakan lagi tes PCR saya?

 I mean, 2022, semua data sudah online masa iya kita masih harus registrasi berulang-ulang. Ada kemajuan sih at least, tadinya fotocopy, sekarang cukup difoto. Tapi bukannya, nilai plus data elektronik itu ya, karena mudah disebar antar level pemerintahan gak perlu dimintakan terus-terusan.

Keempat, kenapa kantor pemerintahan suka banget minta Kartu Keluarga, ini hubungannya dengan tracing apa ya?

Makin-makin ketika ibu saya datang ke puskesmas untuk melakukan tes PCR. 

Hasilnya, ditanyakan tentang keadaan saya, kemudian disuruh pulang. Samapai rumah dimintakan rincian serupa yang sangat panjang tersebut, baru saat malam dikabarkan kalau bisa tes antigen. Saya hanya bisa menyalahkan diri sendiri kenapa tidak melarang ibu saya ke Puskesmas dan menyarankan dia pergi ke klinik swasta saja.


Sudah disuruh pulang, besoknya disuruh balik lagi, ngisi data seabrek cuma buat tes antigen, bahkan bukan PCR. Untung saja ibu saya sangat beretika terkait Covid-19, bayangkan jika tidak, mungkin sudah keliling pasar sambil belanja. Kalau besoknya terdeteksi postif kan kacau.

Yang bikin saya tambah gatal, ketika saya bilang "Puskesmas Desa" sebenarnya saya tidak tinggal di desa yang sangat pelosok, desa saya hanya sekitar 50 kilometer dari Istana Merdeka.

Gejala Pusing Itu Mungkin Datangnya Dari...

Sebagaimana saya jelaskan di awal tidak ada gejala pusing yang saya alami karena Virus Corona. Justru saya baru merasa pusing setelah berurusan dengan birokrasi kesehatan.

Apakah saya menyalahkan Bidan Desa saya? gak juga. Setelah saya bahas persoalan ini via WhatsApp jawaban beliau ya dia sudah bekerja keras sesuai dengan SOP, dan setahu saya tenaga kesehatan sangat taat SOP.

Jadi yang menurut saya bermasalah adalah manajemen kesehatan kita di akar rumput, yang masih terbawa kebiasaan birokratis lama seperti administrasi yang bertele-tele, minta foto copy (atau sekarang foto) berbagai surat (yang kadang tidak ada hubungannya), pelayanan yang tidak tanggap, sampai registrasi yang berulang-ulang. 

Saya bahkan kasihan kalau memikirkan seorang bidan, justru harus meluangkan banyak waktunya untuk urusan-urusan administratif dan pengumpulan data alih-alih fokus pada tidakan medis. Hal yang juga menyebalkan sebagai penerima layanan publik, terlebih ketika dimintakan data yang tidak relevan dengan urusan yang ingin diurus. 

Dugaan saya hal tersebut diakibatkan akses data, atau SOP yang tidak efisien sehingga tenaga kesehatan harus meminta data yang sebenarnya sudah dimiliki oleh Kementerian yang menaunginya.

Saya sudah melihat bagaimana Covid-19 merevolusi birokrasi kesehatan di level pusat, bagimana saya mendapatkan obat dengan sangat mudah tanpa harus registrasi yang berulang, tanpa menyediakan data-data yang sebenarnya tidak relevan, cepat, dan minim birokrasi yang bertele-tele. Semoga saja paradigma itu trickle down sampai ke dinas dan Puskesmas sebagai penyedia layanan kesehatan terdepan agar lebih efisien, reponsif, dan ringkas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun