Bahkan, polisi kerap mengancam korban pemerkosaan yang melapor dan mendorong kasusnya untuk segera diproses.  Â
Pembelajaran dari Afganistan
Pada 2009 Afganistan menerbitkan Peraturan Presiden mengenai Penghapusan Kekerasan Kekerasan Terhadap Perempuan. Sayangnya, peraturan tersebut tidak memberikan batasan yang jelas mengenai perzinahan dan pemerkosaan. Pemerkosaan sendiri didefinisikan sebagai perzinahan paksa, hal tersebut mengaburkan kedua tindakan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh PBB menemukan bahwa dari 34 Provinsi, setidaknya di 30 provinsi hampir semua kasus pemerkosaan yang diinvestigasi selalu menunjukan adanya tindakan hukum terkait zina pada korban.Â
Terjadi di Berbagai NegaraÂ
Permasalahan tersebut tidak mencuat di negara-negara berkembang seperti Sudan, Afghanistan, dan Pakistan. Kasus pemidanaan terhadap korban pemerkosaan berdasarkan pasal zina juga terjadi di Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Berbagai laporan menjelaskan bahwa kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang  sangat rendah tingkat pelaporannya, karena kekhawatiran akan pasal kesusilaan.Â
Indonesia dalam Persimpangan
Momentum RUU TPKS merupakan momentum besar bagi Indonesia untuk menciptakan sistem hukum penghapusan kekerasan seksual menciptakan akses keadilan bagi korban. Sayangnya, momentum tersebut sangat rawan dibajak oleh sebagian pihak yang ingin mengubahnya menjadi undang-undang kesusilaan. Wacana yang menempatkan korban kekerasan semakin rawan terhadap reviktimisasi, diskriminasi, dan kriminalisasi.
Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, bahkan di kawasan dengan norma-norma kesusilaan yang ketat seperti institusi pendidikan agama. Pasal kesusilaan akan menurunkan kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan terbukti, bukan karena menjadi pencegahan. Namun, menjadi disinsentif bagi korban yang akan melapor, dan mempersulit proses mendapatkan keadilan.Â
Klaim kepedulian terhadap kasus-kasus kekerasan seksual dengan mendorong pidana yang berat atau klaim di media, hanyalah omong kosong apabila pada saat bersamaan mengadvokasi pasal yang sangat efektif untuk mengkriminalisasi korban yang melapor.Â
Faktanya, dari negara-negara yang telah dijadikan contoh, kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan merupakan tindak pidana dengan ancaman yang berat. Namun, korban tetap kesulitan untuk mendapatkan akses keadilan karena sulitnya mekanisme hukum, dan tingginya potensi pemidanaan balik.
Pengawalan masyarakat sipil, serta komitmen dari DPR dan Presiden untuk memastikan RUU TPKS menjadi UU TPKS yang berpihak pada korban sangat diperlukan. RUU TPKS harus menjadi Undang-Undang yang melindungi korban, bukan jadi alat untuk mengancam korban dengan kriminalisasi, melanggar hak privasi, atau menjadi legitimasi razia-razia kesusilaan yang kerap dilakukan ormas-ormas tertentu.