RUU Penghapusan Kekerasan memasuki babak baru. Setelah berubah nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), dan kehilangan cukup banyak pasal, RUU tersebut akhirnya naik ke Paripurna DPR.
Partai Keadilan Sejahtera menjadi satu-satunya partai yang menolak dengan alasan bahwa mereka berpendapat bahwa peraturan tersebut sepatutnya memuat pasal-pasal kesusilaan seperti seks bebas.Â
Narasi tersebut masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, dan beberapa organisasi baik LSM dan Mahasiswa. Pasal-pasal kesusilaan seksual kerap dinarasikan sebagai bagian dari pencegahan kekerasan seksual di berbagai laman sosial media. Terkadang menunjukkan data rendahnya angka laporan kekerasan seksual di negara-negara yang mengatur mengenai perzinahan.
Hal lain yang sering tidak dibahas adalah, angka kekerasan seksual berdasarkan laporan ke institusi pemerintah memiliki deviasi besar dibandingkan dengan angka sebenarnya. Berbagai faktor seperti kultur masyarakat, reaksi dari institusi yang berwenang, sampai sulitnya sulitnya mengumpulkan bukti hanya sedikit faktor yang mempengaruhi. Fenomena yang kerap disebut sebagai Tip of The Iceberg yang hampir terjadi di seluruh negara dengan tingkat deviasi yang beragam.
Tentu struktur hukum suatu negara berpengaruh apakah korban pada akhirnya melaporkan kekerasan yang dialaminya atau tidak.
Bahaya Pasal Kesusilaan Dalam Beleid Kekerasan Seksual
Sebagaimana telah dibahas, kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang sulit untuk dibuktikan karena seringkali terjadi di tempat privat. Terlebih, dalam beberapa kasus korban memerlukan waktu sebelum akhirnya memilih untuk menceritakannya, apalagi untuk membuat laporan ke institusi yang berwenang.Â
Lebih lanjut, dalam berbagai kasus seksual terhadap, fenomena tonic immobility sangat mungkin terjadi secara psikologis. Di mana, korban tidak bereaksi atau melawan karena ketakutan yang terjadi akibat serangan pelaku. Hal tersebut sangat berpotensi membuat penegak hukum yang tidak memiliki pemahaman mengenai kasus-kasus kekerasan seksual justru menuduh korban suka-sama-suka.
Di sinilah pasal-pasal kesusilaan menjadi bermasalah. Perbedaan paling mendasar antara pemerkosaan dan zina adalah ada atau tidaknya persetujuan, paksaan, kekerasan, atau ancaman kekerasan. Celakanya, perbedaan tipis tersebutlah yang sebagaimana telah dijelaskan cenderung sulit untuk dibuktikan. Plus, pemahaman atau subjektivitas penegak hukum dan hakim yang sangat beragam.Â
Maka sesuatu yang sebelumnya menjadi kesulitan dalam penanganan kasus kekerasan seksual, menjadi sesuatu yang memiliki potensi besar kriminalisasi korban. Â
Apabila wacana dimasukkannya pasal-pasal kesusilaan diamini oleh DPR dan Pemerintah dalam pengesahan RUU TPKS. Implikasinya apabila terbukti kekerasan, ancaman, atau tidak ada persetujuan maka pelaku akan dijadikan tersangka, dan dipidana.Â
Namun, apabila tidak, maka pihak yang sebenarnya korban sangat berpotensi, turut diseret menjadi tersangka atau bahkan dipidana berdasarkan pasal kesusilaan.
Kasus-kasus dijeratnya korban pemerkosaan dengan pasal kesusilaan sudah banyak terdokumentasi di Sudan, Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Dengan demikian, skenario yang saya bahas barusan bukan hipotesis semata, melainkan hal yang benar-benar sudah terjadi di berbagai negara.
Pembelajaran dari Sudan   Â
Sudan merupakan salah satu negara yang menggabungkan pasal zina dengan pasal kekerasan seksual dalam kitab undang-undang hukum pidananya yang disahkan pada tahun 1991. Hukum acara pidana negara tersebut mengarahkan penegak hukum untuk mengumpulkan bukti seperti luka, kehilangan keperawanan, dan keberadaan sperma.Â
Namun, apabila tidak ada kekerasan fisik yang dapat dibuktikan, maka korban memiliki risiko dilaporkan berdasarkan pasal zina atau tindakan melanggar kesusilaan. Risiko tersebut sangat besar sampai-sampai banyak pengacara yang merekomendasikan untuk tidak melaporkan pemerkosaan karena risiko tersebut.
Hal tersebut pada korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan karena pemerkosaan. Sebab kehamilan orang yang belum menikah menjadi salah satu alat bukti tindak pidana perzinahan. Sehingga korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan memiliki beban untuk membuktikan adanya kekerasan fisik atau perlawanan fisik yang dilakukan.Â
Bahkan korban yang sudah mengalami pubertas dan hamil yang tidak dapat membuktikan perlawanan fisik, laporan langsung setelah terjadinya kasus, atau dianggap menyembunyikan kasus pemerkosaannya dianggap sebagai keberadaan konsen. Hal tersebut semakin memperparah kasus-kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Â
Bahkan UN Human Rights Office menemukan setidaknya dua sampel kasus di mana korban pemerkosaan yang melapor, dan korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan justru dibawa ke pengadilan sebagai tersangka kasus zina. Dalam laporannya, UN HUman Rights Office menjelaskan bahwa kasus serupa merupakan hal yang sangat umum terjadi.
Pembelajaran dari Pakistan
Pada 1977 Pakistan mengesahkan Ordonansi Hudud, atau hukum pidananya. Peraturan tersebut mengatur mengenai zina dan pemerkosaan pada sub-bab zina. Hal tersebut membuat permasalahan yang serupa dengan yang terjadi di Sudan.Â
Ketentuan tersebut sangat membebankan pembuktian pada korban pemerkosaan untuk membuktikan bahwa kehamilannya adalah akibat dari pemerkosaan, bukan zina. Setidaknya tercatat setidaknya tiga, dari banyak kasus, yang masuk pemberitaan internasional pada medio 1980-1994 di mana korban pemerkosaan yang melaporkan kasusnya berakhir dengan pemenjaraan karena kegagalan membuktikan bahwa tindakan seksual yang terjadi merupakan pemerkosaan. Bahkan, salah satu korban melahirkan anaknya di penjara.
Bahkan, polisi kerap mengancam korban pemerkosaan yang melapor dan mendorong kasusnya untuk segera diproses.  Â
Pembelajaran dari Afganistan
Pada 2009 Afganistan menerbitkan Peraturan Presiden mengenai Penghapusan Kekerasan Kekerasan Terhadap Perempuan. Sayangnya, peraturan tersebut tidak memberikan batasan yang jelas mengenai perzinahan dan pemerkosaan. Pemerkosaan sendiri didefinisikan sebagai perzinahan paksa, hal tersebut mengaburkan kedua tindakan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh PBB menemukan bahwa dari 34 Provinsi, setidaknya di 30 provinsi hampir semua kasus pemerkosaan yang diinvestigasi selalu menunjukan adanya tindakan hukum terkait zina pada korban.Â
Terjadi di Berbagai NegaraÂ
Permasalahan tersebut tidak mencuat di negara-negara berkembang seperti Sudan, Afghanistan, dan Pakistan. Kasus pemidanaan terhadap korban pemerkosaan berdasarkan pasal zina juga terjadi di Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Berbagai laporan menjelaskan bahwa kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang  sangat rendah tingkat pelaporannya, karena kekhawatiran akan pasal kesusilaan.Â
Indonesia dalam Persimpangan
Momentum RUU TPKS merupakan momentum besar bagi Indonesia untuk menciptakan sistem hukum penghapusan kekerasan seksual menciptakan akses keadilan bagi korban. Sayangnya, momentum tersebut sangat rawan dibajak oleh sebagian pihak yang ingin mengubahnya menjadi undang-undang kesusilaan. Wacana yang menempatkan korban kekerasan semakin rawan terhadap reviktimisasi, diskriminasi, dan kriminalisasi.
Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, bahkan di kawasan dengan norma-norma kesusilaan yang ketat seperti institusi pendidikan agama. Pasal kesusilaan akan menurunkan kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan terbukti, bukan karena menjadi pencegahan. Namun, menjadi disinsentif bagi korban yang akan melapor, dan mempersulit proses mendapatkan keadilan.Â
Klaim kepedulian terhadap kasus-kasus kekerasan seksual dengan mendorong pidana yang berat atau klaim di media, hanyalah omong kosong apabila pada saat bersamaan mengadvokasi pasal yang sangat efektif untuk mengkriminalisasi korban yang melapor.Â
Faktanya, dari negara-negara yang telah dijadikan contoh, kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan merupakan tindak pidana dengan ancaman yang berat. Namun, korban tetap kesulitan untuk mendapatkan akses keadilan karena sulitnya mekanisme hukum, dan tingginya potensi pemidanaan balik.
Pengawalan masyarakat sipil, serta komitmen dari DPR dan Presiden untuk memastikan RUU TPKS menjadi UU TPKS yang berpihak pada korban sangat diperlukan. RUU TPKS harus menjadi Undang-Undang yang melindungi korban, bukan jadi alat untuk mengancam korban dengan kriminalisasi, melanggar hak privasi, atau menjadi legitimasi razia-razia kesusilaan yang kerap dilakukan ormas-ormas tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H