Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bahaya Pemidanaan Korban dalam Wacana Dimasukannya Pasal Kesusilaan ke RUU TPKS

23 Januari 2022   14:41 Diperbarui: 23 Januari 2022   14:56 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Protes aktivis perempuan terhadap implementasi hukum rajam pada kasus-kasus kesusilaan Sumber: NY Times.

Namun, apabila tidak, maka pihak yang sebenarnya korban sangat berpotensi, turut diseret menjadi tersangka atau bahkan dipidana berdasarkan pasal kesusilaan.
Kasus-kasus dijeratnya korban pemerkosaan dengan pasal kesusilaan sudah banyak terdokumentasi di Sudan, Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Dengan demikian, skenario yang saya bahas barusan bukan hipotesis semata, melainkan hal yang benar-benar sudah terjadi di berbagai negara.

Protes aktivis perempuan terhadap implementasi hukum rajam pada kasus-kasus kesusilaan Sumber: NY Times.
Protes aktivis perempuan terhadap implementasi hukum rajam pada kasus-kasus kesusilaan Sumber: NY Times.

Pembelajaran dari Sudan     

Sudan merupakan salah satu negara yang menggabungkan pasal zina dengan pasal kekerasan seksual dalam kitab undang-undang hukum pidananya yang disahkan pada tahun 1991. Hukum acara pidana negara tersebut mengarahkan penegak hukum untuk mengumpulkan bukti seperti luka, kehilangan keperawanan, dan keberadaan sperma. 

Namun, apabila tidak ada kekerasan fisik yang dapat dibuktikan, maka korban memiliki risiko dilaporkan berdasarkan pasal zina atau tindakan melanggar kesusilaan. Risiko tersebut sangat besar sampai-sampai banyak pengacara yang merekomendasikan untuk tidak melaporkan pemerkosaan karena risiko tersebut.

Hal tersebut pada korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan karena pemerkosaan. Sebab kehamilan orang yang belum menikah menjadi salah satu alat bukti tindak pidana perzinahan. Sehingga korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan memiliki beban untuk membuktikan adanya kekerasan fisik atau perlawanan fisik yang dilakukan. 

Bahkan korban yang sudah mengalami pubertas dan hamil yang tidak dapat membuktikan perlawanan fisik, laporan langsung setelah terjadinya kasus, atau dianggap menyembunyikan kasus pemerkosaannya dianggap sebagai keberadaan konsen. Hal tersebut semakin memperparah kasus-kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.  

Bahkan UN Human Rights Office menemukan setidaknya dua sampel kasus di mana korban pemerkosaan yang melapor, dan korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan justru dibawa ke pengadilan sebagai tersangka kasus zina. Dalam laporannya, UN HUman Rights Office menjelaskan bahwa kasus serupa merupakan hal yang sangat umum terjadi.

Pembelajaran dari Pakistan

Pada 1977 Pakistan mengesahkan Ordonansi Hudud, atau hukum pidananya. Peraturan tersebut mengatur mengenai zina dan pemerkosaan pada sub-bab zina. Hal tersebut membuat permasalahan yang serupa dengan yang terjadi di Sudan. 

Ketentuan tersebut sangat membebankan pembuktian pada korban pemerkosaan untuk membuktikan bahwa kehamilannya adalah akibat dari pemerkosaan, bukan zina. Setidaknya tercatat setidaknya tiga, dari banyak kasus, yang masuk pemberitaan internasional pada medio 1980-1994 di mana korban pemerkosaan yang melaporkan kasusnya berakhir dengan pemenjaraan karena kegagalan membuktikan bahwa tindakan seksual yang terjadi merupakan pemerkosaan. Bahkan, salah satu korban melahirkan anaknya di penjara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun