Artikel ini adalah artikel terakhir yang membahas mengenai kemenangan City atas UEFA Financial Fair Play, kalau anda belum baca artikel sebelumnya silakan dibaca terlebih dahulu
Financial Fair Play, Regulasi yang Menjegal City
Dari City sampai Bali United, Bagaimana Duit Anak Sultan, Rokok, dan Alkohol Mendanai Olahraga?
Sebelum lanjut membahas larangan Liga Champions City, saya ingin telebih dahulu memberikan gambaran mengenai bagaimana idustri sepak bola moderen mendapatkan uang. Dengan demikian, baru kita bisa membahas bagaimana dampak pelarangan City untuk berkancah Eropa terhadap kondisi finansial The Citizens.
Buat anda atau saya yang menonton Liga Indonesia tahun 2000-an pasti mengira bola bukan sebuah olahraga yang profit. Gimana mau tidak mengira sepak bola merupakan kegiatan menghamburkan uang, setiap tahunnya saja Persija dan Persib bisa menyedot APBD sampai pulihan miliyar Rupiah.Â
Namun keterlibatan negara dalam sepakbola sebenarnya agak toxic, kalu kawan-kawan browsing tim paling sukses Jerman Timur, jawabannya adalah Dynamo Dresden. Tebak siapa yang punya tim tersebut, Statsi alias polisi rahasia Jerman Timur yang terkenal mengerikan, Jangankan bahas aspek sokongan finansial, mencetak gol ke gawang Statsi aja mungkin udah seram sekali. Lagipula di Indonesia banyak Pemda yang juga mengontrol dan mendanai timnya secara, ya seperti Manchester City.
Sekarang otomatis tim sepak bola moderen Eropa tidak dapat didanai pemerintah, rokok, bosnya sendiri, perusahaan alkohol, dan mungkun dalam waktu dekat situs judi juga akan didepak. Lantas bagaimana para tim sepak bola yang menggaji orang sampai ribuan Euro setiap pekan mencari uang? Anda juga mungkin mempertanyakan kenapa klub-klub raksasa seperti Ajax dan Celtic seperti selalu kesulitan menjaga pemain terbaiknya? Serta mengapa target universal bagi tim besar (Termasuk City) adalah  Liga Champions, kalau tidak pasti pelatihnya didepak?
Secara umum pendapatan tim sepak bola bisa kita bagi menjadi tiga; Matchday Income, Bordcast, dan Commercial.
Yang pertama adalah yang paling sederhana, klasik, dan bahkan bisa didapatkan oleh tim tarkam. Mathcday Income, sumbernya adalah tiket yang dibayarkan oleh supporter yang datang ke stadion dan terkadang dalam laporan keuangan digabung dengan pendapatan dari sewa-menyewa lapak di stadion. Nah banyak yang berasumsi bahwa tim yang memiliki stadion besar pasti memiliki pendapatan yang jauh lebih besar.
Tapi, belum tentu, faktanya matchday income semakin menyumbang persentase yang makin kecil setiap tahunnya terutama untuk tim-tim top Eropa. Bahkan matchday income justru dianggap sebagai sesuatu yang paling susah untuk digali, pertama karena kapasitas stadion yang terbatas rekor rata-rata supporter terbanyak dipegang oleh Dortmund itupun tidak sampai 90.000 orang per-pertandingan.Â