Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tiga Pilihan Penanganan Covid-19 yang Dimiliki Joko Widodo

20 April 2020   11:18 Diperbarui: 20 April 2020   11:25 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi memiliki setidaknya tiga skema Undang-Undang untuk diterapkan dalam penanganan Covid-19. Dalam tulisan ini penulis akan membahas skema apa saja yang diatur dalam Undang-Undang, Siapa Tokoh Sentralnya, bagaimana pemerintah menerapkannya, dan apakah kita benar-benar memerlukan ketiga skema tersebut atau ketiga skema tersebut merupakan produk dari minimnya singkronisasi peraturan perundang-undangan.

Skema Darurat Sipil

Skema pertama yang menarik dibahas adalah wacana Presiden Joko Widodo untuk menerapkan Darurat Sipil. Pernyataan tersbut diucapkan dalam konfrensi video pada Selasa, 31 Maret 2020, dalam pidatonya Presiden menyatakan:

"Semua skenario kita siapkan dari yang ringan, moderat, sedang, sampai kemungkinan yang terburuk. Darurat sipil itu kita siapkan apabila terjadi kondisi abnormal. Perangkatnya kita siapkan,"

Pernyataan tersebut menciptakan kritik yang cukup keras di publik, wajar saja penerapan Darurat Sipil otomatis akan mengacu pada Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang. 

Secara objektif penetapan Darurat Sipil memang dimungkinkan, meskupun dapat diperdebatkan penerapannya sebagai respon dari keadaan Pandemi Covid-19. Syarat penerapan Darurat Sipil sendiri diatur dalam Pasal 1 Perppu Keadaan Darurat yang menyatakan:

"(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan adaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila: 

 1. keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan,  kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;

3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara."

Namun, patut diingat bahwa Perppu tersebut sudah usang dan berpotensi melanggar HAM. Selain itu apakah keadaan Covid-19 adalah "bencana alam" atau bukan merupakan perdebatan, mengingat dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana wabah digolongkan sebagai bencana non-alam. 

Kalau tidak, apakah Covid-19 masuk ke dalam rumusan sebagai gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara yang tidak pasti batasannya? Terlepas dari terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat diatas, toh dari pidatonya Jokowi sepertinya memaksakan Darurat Sipil sebagai opsi penanganan, sehingga dapat menjadi bahasan dalam artikel ini.

Penerapan Darurat Sipil juga dituding debagai cara agar pemerintah terhindar dari beban memenuhi kebutuhan dasar rakyat yang diamanatkan dalam Undang-Undang Karantina Kesehatan. 

Perppu Darurat Sipil juga dinilai tidak tepat dalam konteks masa sekarang, mengingat penerbitannya lebih dilatarbelakangi oleh ramainya pemberontakan dan kekacuan politik di era 1950-an bukannya wabah. 

Dalam implementasinya pada Era Soekarno sampai tahun 1963 mengakibatkan Soekarno bertindak selayaknya penguasa tunggal, masuknya militer ke ranah sipl, dan sensor pers yang keras. 

Secara substansi Perppu Keadaan Bahaya memang memberikan landasan bagi Penguasa Darurat Sipil untuk melakukan hampir segala hal. Mulai dari tidak berlakunya asas legalitas, dan kewenangan penguasa darurat sipil untuk membuat peraturan hampir tidak memiliki batasan materi muatan. 

Penguasa Darurat Sipil juga berhak mengetahui semua percakapan melalui telefon, radio, dan membatasi komunikasi masyarakat. Perppu Keadaan Bahaya juga membatasi rapat-rapat umum dan membatasi orang untuk berada di luar rumah, dengan pengecualian peribadatan dan rapat-rapat Pemerintah.

Perppu Keadaan Bahaya juga cenderung militeristik dan sentralistik  dengan menjadikan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat sebagai pihak yang memegang peran dominan, dibantu oleh badan yang terdiri atas:

           " 1. Menteri Pertama;

             2. Menteri Keamanan/Pertahanan;

             3. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;

             4. Menteri Luar Negeri;

             5. Kepala Staf Angkatan Darat;

             6. Kepala Staf Angkatan Laut;

             7. Kepala Staf Angkatan Udara;

             8. Kepala Kepolisian Negara."

 Sementara "Di daerah-daerah penguasaan keadaan darurat sipil dilakukan oleh Kepala Daerah serendah-rendahnya dari Daerah tingkat II selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah yang daerah hukumnya ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang" yang di bantu oleh:

            "1. Seorang Komandan Militer tertinggi dari daerah yang bersangkutan.;

             2. Seorang Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan;

             3. Seorang Pengawas/Kepala Kejaksaan dari daerah yang bersangkutan."

 Anggota-anggota badan tersebut sendiri ditunjuk oleh Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

Sampai sekarang, opsi Darurat Sipil belum diambil oleh Presiden Joko Widodo. Presiden sendiri menyatakan apabila darurat sipil akan diterapkan apabila kondisi akibat Covid-19 dianggap tidak biasa. 

Penulis menilai bahwa penerapan skema darurat sipil tentu tidak relevan dengan keadaan yang ada sekarang. Penerapan darurat sipil justru menyeret militer dalam penanganan Covid-19, padahal belum tentu pendidikan atau kemampuan militer dapat kontekstual dengan keadaan wabah. 

Penerapan Darurat Sipil juga berlebihan, tentu tidak ada kaitan antara penanganan wabah dengan penyadapan, pembungkaman pers, penghapusan asas legalitas, dan kewenangan pembentukan peraturan yang hampir tidak terbatas. 

Terlebih Perppu Keadaan Bahaya justru memberikan pengacualian pembatasan berkumpul untuk kegiatan beribadah, yang dalam konteks penyebaran penayakit justru menjadi tempat penularan potensial.

 Skema Bencana Nasional

Opsi kedua yang sudah diterapkan oleh Pemerintahan Joko Widodo Berdasarkan Keppres No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronan Virus Desease 2019 yang telah diubah dengan Keppres No. 9 Tahun 2020 adalah pendekatan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Berdasarkan Bagian "Mengingat"-nya Keppres tersebut menjalankan 6 Peraturan perundang-undangan di atasnya diantara lain:

 "1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik  Indonesia Nomor 32731;

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2OO7 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO7 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor a723);

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2OO9 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2Ol8 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236);

6. Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2O18 tentang Penyelenggaraan Kedaruratan Bencana pada Kondisi Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol8 Nomor 34);"

 Meskipun kedua Keppres tersebut turut menimbang Undang-Undang Kesehatan dan beberapa undang-undang lainnya, namun dilihat dari substansinya pendekatan Undang-Undang Penanggulangan Bencana sangat terlihat. 

Hal tersebut ditunjukan dengan penetapan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagai Ketua Pelaksana. Terlebih lagi satu-satunya Perpres yang dijadikan pertimbangan adalah Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kedaruratan Bencana pada Kondisi Tertentu, yang merupakan peraturan perlaksana Undang-Undang Penanggulangan Bencana.

Terdapat beberapa hal yang membuat Undang-Undang Penanggulangan Bencana dan substansinya menjadi relevan dan tepat untuk diadopsi dalam penanggulangan Covid-19. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007  tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan "epidemi dan wabah penyakit" sebagai bencana non-alam. Undang-Undang Penanggulangan Bencana juga mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penanganan Bencana. Badan tersebut mempunyai tugas; 

 "a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang  mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;

b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan; 

c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;  

d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada  Presiden  setiap sebulan sekali dalam  kondisi  normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana; 

e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional; 

f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;"

Adapun, fungsi dari BNPB meliputi perumusan dan penetapan kebijakan penaggulangan bencan, dan pengoordinasian kegiatan penanggulangan bencana. Sementara, Pasal 15 mengatur unsur pelaksana penanggulangan bencana merupakan kewenangan Pemerintah. 

Unsur pelaksana tersebut mempunyai fungsi koodinasi, komando, dan pelaksana dan diisi oleh tenaga professional dan ahli. Apabila dilihat dari substansinya, Keppres No.7 dan No.9 Tahun 2020 sepertinya melaksanakan pelaksanaan Pasal 15 Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Sementara Keppres No. 12 Tahun 2020 menetapkan penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam.

Meskipun sama-sama tidak secara spesifik mengatur tentang wabah, Undang-Undang Penanggulangan Bencana jauh lebih menguntungkan bagi publik. Selain tidak memuat pasal-pasal yang cenderung represif, berpotensi melanggar HAM, dan cenderung militeristik. 

Undang-Undang Penanggulangan bencana mengatur mengenai pengelolaan bantuan bencana dalam Pasal 65-70. Di dalam pasal-pasal tersebut terdapat ketentuan mengenai penyediaan bantuan santunan duka cita dan kecacatan bagi korban bencana, dan pinjaman lunak untuk usaha produktif. 

Dari perspektif pemerintah, penerapan Undang-Undang Penanggulangan Bencana juga relatif lebih mudah diimplementasikan dibandingkan Undang-Undang Karantina Kesehatan. 

Setidaknya, Undang-Undang yang disahkan pada 2007 ini, peraturan turunannya sudah cukup lengkap. Dari seluruh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang  diamanatkan untuk dibentuk oleh Undang-Undang Penanggulangan Bencana, hanya Perpres mengenai Penetapan Status dan Tingkatan Bencana yang belum diterbitkan. 

Dengan demikian, pemerintah sudah memiliki cukup banyak peraturan pelaksana yang membuat implementasi Undang-Undang yang bersifat umum abstrak menjadi aplikabel. 

Selain kesiapan struktur hukum, keberadaan BNPB yang sudah lebih dari satu dekade tentunya memiliki kesiapan fisik yang cukup. Meskipun kesiapan BNPB untuk menangani bencana non-alam masih dapat dipertanyakan, mengingat BNPB bukalah sebuah lembaga yang didirikan secara khusus untuk menangani penyebaran wabah.

 Skema Darurat Kesehatan Nasional

Opsi terakhir yang dapat digunakan oleh pemerintah adalah skema berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Berbeda dengan Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang hanya menjadikan penyebaran wabah sebagai bagian dari bencana non-alam, Undang-Undang Karantina Kesehatan disusun secara khusus untuk menanggulangi penyebaran penyakit. Dalam bagian Menimbangnya, Undang-Undang Karantina Kesehatan menyatakan:

"b. bahwa kemajuan teknologi transportasi dan era perdagangan bebas dapat berisiko menimbulkangangguan kesehatan dan penyakit baru atau penyakit lama yang muncul kembali dengan penyebaran yang lebih cepat dan berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, sehingga menuntut adanya upaya cegah tangkal penyakit dan faktor risiko kesehatan yang komprehensif dan terkoordinasi, serta membutuhkan sumber daya, peran serta masyarakat, dan kerja sama internasional;

 c. bahwa sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkomitmen melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia   sebagaimana yang diamanatkan dalam regulasi internasional dibidang kesehatan, dan dalam melaksanakan amanat ini Indonesia harus menghormati sepenuh nyamartabat, hak asasi manusia, dasar-dasar kebebasan seseorang, dan penerapannya secara universal;"

Pasal 10 Undang-Undang Karantina Kesehatan memberikan kewenangan bagi Pemerintah Pusat untuk menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Kewenangan tersebut [akhirnya] digunakan oleh Presiden Joko Widodo dengan menetapkan Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) setelah beragam tekanan publik.

Penetapan tersebut menjadi dasar penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, dengan berbagai bentuk tindakan kekarantinaan. Tindakan yang dapat diambil dapat berupa Kekarantinaan Kesehatan Pintu Masuk, Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Bersekala Besar. 

Presiden, baik dalam pidatonya pada tanggal 31 Maret 2020, maupun kerangka hukum yang dipersiapkan, terlihat memilih penerapan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) dibandingkan tindakan kerkarantiaan yang lain. Pada tanggal yang sama Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019.

Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 mengatur kriteria PSBB, ketentuan minimum PSBB, dan mengatur mekanisme pengusulan PSBB oleh Pemerintah Daerah ke Menteri Kesehatan. 

Anehnya Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 justru "mengembalikan" pengaturan ke Undang-Undang Karantina Kesehatan alih-alih mengatur PSBB Secara lebih teknis. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020, juga dikritik karena tujuan yang teralu spesifik, hanya mengulang norma-norma dalam Undang-Undang Karantina Kesehatan, dan hanya memuat penegasan kembali bahwa kewenangan penyelenggaraan karantina kesehatan berada di Pemerintah Pusat.

Ceteknya pengaturan dalam Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2020 sebenarnya bukan sesuatu yang mengaggetkan. Pertama, Pemerintah Pusat terlihat ingin menggunakan Peraturan Pemerintah tersebut sebatas untuk permasalahan Covid-19, dan mencegah "lock down" yang dilakukan Pemerintah Daerah tanpa koordinasi ke pusat. Kedua, Pemerintah belum menyusun peraturan pelaksana apapun yang diamanatkan oleh Undang-Undang Karantina Kesehatan.

Sepertinya memang Presiden maupun Kemenkes belum terpikirkan untuk menyusun peraturan teknis Undang-Undang Karantina Kesehatan sehingga memang belum terbayang materi muatan peraturan pelaksana dari tiap-tiap bentuk karantina. Sesuatu yang mengkhawatirkan mengingat "deadline" dari seluruh peraturan pelaksana Undang-Undang Karantina Kesehatan tinggal setahun lagi. 

Bahkan sampai sekarang, Peraturan Menteri mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan Pejabat Karantina Kesehatan, belum ada. Padahal Undang-Undang Karantina Kesehatan menempatkan Pejabat Karantina Kesehatan sebagai pihak yang "diberi kewenangan untuk urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk melaksanakan Karantina Kesehatan". 

Namun apakah lembaga yang baru disusun dua tahun lalu dalam undang-undang, tanpa ada peraturan pelaksana siap baik dari aspek yuridis maupun teknis? Pertimbangan tentu menciptakan skeptisisme terhadap implementasi Undang-Undang Karantina Kesehatan yang lebih besar daripada langsung menugaskan BNPB yang sudah lebih dulu ada.

Under Regulation Undang-Undang Karantina Kesehatan & Minimnya Harmonisasi Regulasi 

 Seharusnya Presiden Joko Widodo tidak memiliki dua atau tiga skema penanganan wabah Covid-19, melainkan hanya satu opsi yang pasti dan tepat. Dalam pandangan penulis, undang-undang yang paling tepat digunakan adalah Undang-Undang Karantina Kesehatan mengingat baik dasar penyusunan maupun materi muatannya paling sesuai dengan kondisi Pandemi.  

Sementara yang paling tidak relevan dan mengagetkan menjadi pertimbangan Presiden adalah implementasi Perppu Keadaaan Darurat. Namun, sebagaimana dibahas di atas sebagai undang-undang paling muda, Undang-Undang Karantina Kesehatan masih jauh dari siap untuk diiplementasikan.

Hal tersebut ditujukan dengan hampir tidak adanya peraturan pelaksana yang sudah ditetapkan, sehingga pengaturan lanjutan dari Undang-Undang Karantina Kesehatan yang menjadi landasan hukum bertindaknya aparatur negara masih belum ada. Penetapan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019 juga tidak sepenuhnya membantu. 

Substansi yang mengecewakan justru menjadi indikasi yang semakin kuat bahwa pemerintah belum memiliki ide bagaimana implementasi dan peraturan pelaksana Undang-Undang Karantina Kesehatan.

Di samping permasalahan peraturan pelaksana, secara yuridis, Undang-Undang Karantina Kesehatan juga hanya mencabut peraturan di bidang karantina udara dan karantina laut. 

Dengan demikan ketentuan terkait penanganan wabah dalam Undang-Undang Penanganan Bencana dan Perppu Keadaan Berbahaya masih dapat diimplementasikan. Hal tersebut tentu menunjukan masih buruknya harmonisasi undang-undang di Indonesia. 

Undang-Undang Karantina Kesehatan, dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana cukup menunjukan bahwa penyusunnya dan yang mengesahkannya tidak mepertimbangkan bahwa ada undang-undang sebelumnya dengan materi muatan yang tumpang tindih. 

Hal tersebut ditunjukan dengan fakta bahwa undang-undang yang lebih baru tidak mencabut atau mengubah ketentuan apapun dalam undang-undang yang lebih lama, atau setidak-tidaknya mempertimbangkan bagaimana institusi yang dibentuk olehnya untuk dapat singkron dengan isntitusi yang sudah ada. 

Kalau hal tersebut dilakukan, sepatutnya Undang-Undang Penanggulangan Bencana mengubah Pasal 1 ayat 1 Perppu Keadaan Bahaya sehingga bencana alam tidak mungkin ditangani dengan mekanisme Darurat Sipil. 

Hal yang sama juga sepatutnya dilakukan oleh penyusun Undang-Undang Karantina Kesehatan dengan mengubah definisi "bencana non-alam" dalam Undang-Undang Penanggulangan bencana, sehingga penanganan epidemi dan wabah tidak menjadi materi muatan Undang-Undang Penanggulangan Bencana.

Opsi lain yang mungkin dilakukan adalah dengan merevisi Undang-Undang Karantina Kesehatan sehingga mengatur peran BNPB (atau kalau masih memaksakan Penguasa Darurat Sipil, meskipun penulis merasa sudah tidak relevan lagi) dalam penanganan wabah penyakit. 

Dengan demikian peran baik BNPB dan Pejabat Karantina Kesehatan dalam penanganan wabah dan pandemi menjadi jauh lebih singkron dan dilaksanakan dalam satu skema penanganan.

Sayangnya, Covid-19 datang teralu cepat, sebelum struktur hukum Indonesia siap untuk menjadi landasan penanganan yang terstruktur dan sistematis dari pandemi. 

Sehingga pemerintah terpaksa secara "impromptu" menyusun beberapa opsi kebajakan sekaligus, ditambah dengan pengaturan lebih lanjut dari Undang-Undang Karantina Kesehatan yang mengecewakan. 

Penulis sendiri masih berharap pemerintah dapat menyusun kebijakan yang matang berdasarkan Undang-Undang Karantina Kesehatan yang memang disususun untuk situasi seperti sekarang, bukan Undang-Undang Penanggulangan Bencana apalagi Perppu Keadaan Bahaya. Pandemi Covid-19 sepatutnya menjadi pemicu pemerintah untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang lebih singkron dan sistematis dalam hal penanganan wabah penyakit.  

* Tulisan merupakan penyesuaian dari tugas Mata Kuliah Teori Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun