Pembahasan skripsi ini mencakup kesetaraan gender dalam rumah tangga. Menurutnya, kesetaraan dan keadilan gender menghendaki relasi keluarga yang egaliter, hormat, dan terbuka merupakan hal yang dikehendaki. Lebih jauh, keluarga sakinah tidak dapat dibangun apabila hak-hak dasar pasangan suami istri dalam posisi tidak seimbang. Sebab, hubungan hierarkis pada umumnya dapat memicu relasi kuasa yang menciptakan subordinasi dan marginalisasi sehingga rentan disharmoni.
Hal tersebut ditunjukan dengan partisipasi aktif laki-laki dan perempuan dalam pengabilan keputusan, akses kontrol dan pengusaan perempuan dalam berbagai sumber daya, dan seberapa besar manfaat yang diperoleh perempuan. Skripsi ini berpandangan bahwa kesetaraan gender dalam perkawinan merupakan salah satu upaya membangun perkawinan bahagia, sakinah, mawaddah, wa rahmah. Sementara terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga, menurut skripsi ini, kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan paling berbahaya, dan sangat terkait dengan sikap-siakap tradisional dan ketergantungan ekonomi. Salah satu bentuk kekerasan adalah kekerasan seksual dalam perkawinan.
Terkait masalah seksualitas suami-istri dalam perspektif Hukum Islam, skripsi ini merujuk dalam beberapa ayat dalam Alquran. Pertama adalah Alquran surah Al Baqarah ayat 187. Ayat tersebut diejlaskan penulis skripsi ini bahwa dalam berhubungan seksual harus dilakukan dengan ma'ruf, bahwa kewajiban melayani permintaan suami dapat ditangguhkan oleh istri. Selain itu, terdapat juga larangan untuk melakukan azl tanpa izin istri berdasarkan hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah.
Konsensus antara suami istri juga mencakup penggunaan obat pencegah kehamilan. Dalam Hukum Islam, marital rape sendiri masuk ke dalam hukum pidana, karena perbuatan aniaya yang mengganggu hak individu orang lain, bertentangan dengan mawasid as-syari'ah kategori hifz an-nafs sekaligus prinsip mu'asyarah bi al-ma'ruf. Apabila merujuk pada Al Baqarah ayat 233, skripsi ini berpendapat bahwa perumpamaan istris sebagai ladang juga dan suami sebagai petani juga berarti suami memiliki kewajiban untuk mengatur waktu yang tepat dalam kehamilan, jangan sampai setiap panen merusak ladang.
Dalam kesimpulannya terkait dengan perspektif hukum Islam terhadap marital rape, skripsi ini memandang bahwa dalam hukum Islam, hak dan kewajiban antara suami dan istri adalah seimbang. Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri, sedangkan istri wajib taat dan patuh kepada suami. Kepatuhan istri pada suami yang paling asasi adalah menyangkut hubungan seksual. Selama tidak ada unsur syar'i seperti datang bulan atau sedang berpuasa Ramadhan, istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk berhubungan badan. Namun sudah dijelaskan dalam Alquran surah An-Nisa ayat 19 untuk mempergauli istri dengan cara yang makruf. Ini berarti memaksakan persenggamaan dengan cara kekerasan adalah tindakan yang sangat tidak terpuji. Perbuatan itu hanya akan menyebabkan penderitaan batin dan fisik istri.
Dalam hal ini maka si suami tidak dapat dikatakan memperkosa istrinya, tetapi dia masuk ke dalam kategori suami durhaka karena tidak memperdulikan istrinya secara ma'ruf. Dengan demikian, menurut hukum Islam pelaku tindak pidana kekerasan seksual terrhadap istri dapat dikenakan sanksi ta'zir, yang belum ditentukan hukumnya oleh syara' dan wewenang untuk menetapkan hukumnya diserahkan pada ulil amri atau hakim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H