Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Serabutan

Ikuti kata hati. Itu saja...!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Kembali Mainkan Langkah Catur

29 Januari 2021   21:14 Diperbarui: 29 Januari 2021   21:18 1665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


DRAF Revisi Undang-Undang (RUU) pemilu tengah digodok di gedung Parlemen pusat Senayan, Jakarta. Berdasarkan beberapa portal berita online, ada dua kubu yang berseteru. Kubu pro UU Nomor 10 Tahun 2016 agar Pilkada serentak tetap dilaksanakan tahun 2024, dan kubu yang menginginkan Pilkada kembali normal. Dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023. 

Kubu yang menginginkan Pilkada digelar pada tahun 2024 dipelopori oleh PDI Perjuangan (PDI-P). Diikuti oleh PKB, PAN dan PPP. Sedangkan, pihak lawan dipelopori oleh Partai Golkar yang diamini oleh PKS, Nasdem dan Demokrat. Sementara, Partai Gerindra masih belum menentukan sikap jelas. Mereka sepertinya masih berhitung tentang untung rugi. 

Bila menilik dari jumlah masing-masing yang pro dan kontra terhadap UU Nomor 10 tahun 2016 relatif berimbang. Masing-masing empat partai. Dengan jumlah suara pun terpaut tipis. PDI-P dan kolega berjumlah 247, sedangkan Partai Golkar dan kawan-kawan 248. 

Apabila nasib draf revisi UU pemilu harus dilakukan melalui voting, maka Partai Gerindra akan menjadi faktor penentu. Kemana pun partai berlambang kepala burung garuda tersebut berlabuh, maka dipastikan salah satu kubu bakal memenangkan pertarungan. 

Dalam praktiknya, pertarungan dua kepentingan tidak hanya melibatkan partai-partai politik yang berada di gedung parlemen Senayan. Diam-diam, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun turut bermain. Disebut-sebut, orang nomor satu di Republik Indonesia ini menghendaki, pelaksanaan pilkada sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016, dan menolak pilkada digelar pada tahun 2022 dan 2023. 

Keinginan Presiden Jokowi ini tersirat saat dirinya menerima lima belas orang tamu undangan mantan juru bicara Tim Kampanye Nasional Pemenangan Pilpres Jokowi-Ma'ruf Amin, di Istana Negara, Kamis (28/1). 

Dikutip dari CNN Indonesia, salah seorang tamu undangan yang enggan disebut namanya, mengatakan, Jokowi secara gamblang menyampaikan penolakannya terhadap revisi Undang Undang Pemilu yang diusulkan DPR. Alasannya, pandemi Covid-19 belum usai. Pemerintah ingin lebih fokus pada pemulihan ekonomi ketimbang mengurusi pilkada. 

Alasan lain, Presiden Jokowi khawatir ada pilkada daerah tertentu yang sifatnya sangat sensitif dan berpotensi membuat situasi menjadi tidak stabil hingga mengganggu upaya pemerintah menanggulangi pandemi dan pemulihan ekonomi. Salah satunya Pilkada DKI Jakarta 

Dalam amatan sederhana saya, alasan yang disampaikan Presiden Jokowi masuk akal dan sangat tepat sasaran. Untuk sekarang pemerintah mending lebih fokus kepada penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi dibanding hal lainnya. Hal tersebut membuktikan, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut lebih mementingkan masyarakat daripada politik. Toh, buat apa merevisi atau merubah aturan yang sudah ada.  nambah-nambah kerjaan, istilahnya. 

Meski begitu, menurut kacamata politik receh penulis, alasan yang dilontarkan Presiden Jokowi bukan hanya itu. Ada maksud tersembunyi yang mustahil dia ungkapkan. Yakni, masalah kepentingan politik-politik juga. 

Entah telah berapa kali saya mengulas bahwa Presiden Jokowi disebut-sebut sebagai petugas partai dari PDI-P. Terlalu naif rasanya bila Wong Solo ini tidak diberi mandat khusus oleh Ketua Umum partai banteng, Megawati Soekarnoputri, untuk mengamankan kekuasaan paska masa jabatan Jokowi habis pada tahun 2024, dan kembali menjadi juara umum pemilu legislatif. 

Nah, untuk mengamankan itu semua, salah satu caranya adalah dengan tetap melaksanakan pilkada pada tahun 2024 mendatang. Seperti pernah saya kupas pada artikel sebelumnya, paling tidak ada dua keuntungan besar yang bisa diperoleh PDI-P. 

Pertama, kemungkinan lawan pasangan calon yang diusung PDI-P tidak akan terlalu kuat secara elektabilitas maupun popularitas. Tidak dipungkiri, sejauh ini kandidat yang dianggap potensial menggagalkan niat PDI-P kembali berkuasa, hanya satu nama. Yakni, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. 

Nama Anies begitu diperhitungkan dengan catatan Prabowo Subianto masih tetap menjadi mitra koalisi seperti yang telah diwacanakan selama ini. 

Kenapa Anies? Karena dia memiliki panggung politik yang amat strategis sebagai Gubernur DKI Jakarta. Di sana telah ada segalanya demi mendapatkan popularitas dan elektabilitas. Salah satu yang utama tentu saja sorotan kamera para pewarta. 

Sebagai penguasa etalase negara, apapun selalu menarik perhatian para kuli tinta untuk mempublikasikannya. Terlebih, Anies adalah salah satu kepala daerah yang kerap disebut sebagai media darling. Jadi, dengan sering menjadi bahan berita, maka popularitas adalah garansi. Tinggal bagaimana dia memikirkan cara untuk meraih simpati publik. 

Namun, semua itu tidak akan bisa terwujud apabila pilkada DKI Jakarta akhirnya digelar pada tahun 2024. Sebab, pada tahun itu Anies Baswedan tidak lagi menjabat. Masa jabatan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini akan habis pada tahun 2022 mendatang. Artinya, setelah itu Anies akan menganggur dan tidak lagi memiliki panggung politik. 

Apabila Anies tidak memiliki panggung politik, hampir dipastikan bakal sulit baginya mempertahankan elektabilitas dan popularitasnya. Bisa sih elektabilitasnya tidak terlalu menukik tajam. Asal, di penghujung masa akhir jabatannya, Anies mampu meninggalkan kesan yang sangat positif di mata masyarakat. Dengan demikian, dia akan selalu diingat dan dikenang. 

Jika di akhir jabatannya malah membuat blunder, tak salah rasanya bila Anies Baswedan mengucapkan "Selamat tinggal pilpres 2024". Sebab, belum tentu ada partai politik yang mau meliriknya. 

Bagi PDI-P, bila itu terjadi tentu saja  bakal menjadi keuntungan besar. Kekuatan Anies Baswedan telah mampu dilumpuhkan. 

Kedua, bila pilkada digelar pada tahun 2024, otomatis kursi kepala daerah yang habis masa jabatan pada tahun 2022 dan 2023 akan diisi oleh pelaksana tugas yang ditunjuk langsung oleh Kementrian Dalam Negeri. Nah, hal ini menjadi peluang PDI-P sebagai partai penguasa untuk mempengaruhi Menteri Dalam Negeri agar menempatkan orang-orang yang bisa mengamankan kepentingan partai. 

Dalam hal ini, para pelaksana tugas akan diberi mandat khusus mengarahkan masyarakat yang dipimpinnya untuk menentukan pilihannya sesuai dengan keinginan PDI-P atau "pemerintah". 

Berdasarkan catatan, pada tahun 2022 jumlah kepala daerah yang habis masa jabatannya sebanyak 101 daerah. Dan, pada tahun 2023 berjumlah 171. Berarti jumlah totalnya adalah 272 daerah. 

Nah, itulah analisa receh saya. Kita tunggu apakah pilkada tetap digelar pada tahun 2024 atau kembali pada tahun 2022 dan 2023. Saya rasa tinggal bagaimana Presiden Jokowi memainkan catur-nya.

Salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun