Kedua, jangan sampai masuknya TNI untuk menjabat pada struktur birokrasi sipil ini membawa kita pada kembalinya konsep dwifungsi ABRI seperti pada masa lalu.
Dwifungsi ABRI
Wacana masuknya perwira TNI dalam jabatan sipil pada masa lalu adalah bagian dari doktrin dwifungsi ABRI yang digagas oleh Jenderal Besar AH Nasution. Dwifungsi sendiri dianggap merupakan bagian dari jalan tengah di tengah problem pelik tentang pembangunan bangsa saat itu.
Sejak lama kalangan militer merasa ditinggalkan dalam pembangunan. Padahal sumbangsih militer jelas tidak bisa diabaikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada saat yang sama, demokrasi liberal yang menjunjung supremasi sipil justru menghasilkan kekisruhan yang tiada henti dalam pemerintahan.
Ketidakpercayaan militer atas kemampuan sipil untuk mengatur dan mengelola negara meningkat. Baik Bung Karno maupun petinggi militer, melihat hal itu sebagai masalah. Kompromi di antara keduanya menghasilkan akomodasi terhadap doktrin dwifungsi tersebut.
Doktrin ini kemudian membuat para perwira mendapatkan tempat yang strategis baik di dalam kementerian maupun dalam jabatan kepala daerah.Â
Dwifungsi inilah yang turut menyebabkan pembangunan demokrasi Indonesia tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan. Puncaknya pada masa Orde Baru, seluruh birokrasi baik di pusat dan di daerah dominan rasa militernya.
Nah, saat ini baik di tatatan birokrasi pemerintah  pusat dan di jabatan-jabatan lainnya termasuk di BUMN para perwira tinggi baik yang aktif maupun pensiun mulai tampak marak.Â
Tentu saja kita berharap perisitiwa-peristiwa kelam masa lalu terkait Dwi fungsi ABRI tidak ingin terulang.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H