Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal "Bersih-bersih" Erick Tohir dan Deretan Perwira Tinggi TNI Polri di Tubuh BUMN

11 Juni 2020   14:25 Diperbarui: 11 Juni 2020   14:35 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KEMENTRIAN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah kendali sang menteri, Erick Tohir, sejak awal dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 20 Oktober 2019 langsung "tancap gas" membenahi sitem manajemen yang berada dalam perusahaan milik negara tersebut.

Salah satu terobosan yang dilakukan oleh mantan Boss Inter Milan ini adalah melakukan "bersih-bersih" berupa penggantian kepengurusan direksi di hampir seluruh perusahaan pelat merah itu, yang katanya demi tercapainya sebuah perubahan yang lebih baik.

Perombakan jajaran direksi tersebut tidak hanya berlaku bagi BUMN yang berskala besar, tapi juga perusahaan-perusahaan milik negara kelas menengah hingga kecil. Bahkan, hingga rencana pemangkasan sejumlah BUMN agar lebih ramping.

Dalam proses "bersih-bersih" dan perombakan jajaran direksi dan komisaris ini, Erick Tohir tidak hanya menempatkan sejumlah kalangan profesional, tetapi menariknya juga merangkul mantan-mantan perwira tinggi dari TNI Polri.

Sebagai contoh, pada hampir penghujung bulan April 2020 lalu, Erick memberhentikan Komisaris utama (Komut) PT. Pelindo, Refly Harun oleh Acmad Jamaludin.

Achmad sebelumnya merupakan perwira Angkatan Laut yang sebelumnya menjabat sebagai Deputi IV Bidang Koordinasi Pertahanan Negara Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI.

Dikutip dari CNBC Indonesia, perombakan juga terjadi di PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Dua jenderal aktif TNI dan Polri diberikan posisi komisaris di PTBA.

Dia adalah Marsekal Madya (Marsda) Andi Pahril Pawi yang saat ini tercatat sebagai jenderal bintang dua di TNI AU yang sebelumnya menjabat Pejabat Tinggi Mabes TNI AU dan juga pernah diamanahi jabatan Staf Ahli Bidang Hankam BIN (Badan Intelijen Negara).

Marsda Andi Pahril Pawi juga pernah bertugas sebagai Kepala Biro Pengamanan, Biro Pengamanan, Sekretariat Militer Presiden, dikutip dari data resmi Kementerian Pertahanan.

Masih dikutip CNBC Indonesia, selanjutnya ada Irjen Carlo Brix Tewu yang saat ini menjabat sebagai Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan Kementerian BUMN. Dia merupakan perwira tinggi Polri bintang dua.

Carlo adalah petinggi polisi aktif yang ditarik oleh Erick memperkuat Kementerian BUMN. Inspektur Jenderal (Irjen) Carlo sebelumnya bertugas di Deputi V Bidkor Kamtibmas Kemenkopolhukam.

Adapun sebelumnya, komisaris utama perusahaan ini yakni Agus Suhartono juga merupakan mantan Panglima TNI yang menjabat pada 2010-2013. Dia merupakan seorang pensiunan dari TNI Angkatan Laut.

Itulah deretan para perwira tinngi TNI Polri yang sudah dipercaya Erick Tohir untuk mengurus perusahaan-perusahaan pelat merah. Bukan mustahil, kebijakannya ini akan terus berlangsung untuk menempati pos-pos lainnya di BUMN.

Pertanyaannya, mengapa Erick Tohir lebih mempercayakan jabatan tinggi di BUMN kepada para perwira tinggi TNI Polri? Apakah, dia sudah kekurangan kafasitas kalangan profesional?

Dalam hipotesa sederhana penulis, kepercayan Erick Tohir terhadap para perwira tinggi TNI Polri boleh jadi bahwa dia merasa sosok-sosok yang memiliki basis militer memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat serta tegas dan pastinya disiplin.

Seperti diketahui, di kemiliteran adalah hal mutlak bagi setiap anggota untuk benar-benar bersikap disiplin dan memiliki ketegasan. Maka, kedua unsur ini telah mulai diterapkan sejak awal bergabung dengan dunia militer. Baik itu TNI maupun Polri.

Nah, dengan jiwa-jiwa kepemimpinan kuat dan disiplin tinggi yang sudah melekat pada perwira tinggi ini bisa membawa perusahaan-perusahaan BUMN yang boleh dikatakan masih banyak carut marut bisa dibenahi. Tentu saja, jiwa tegas dan disiplin tinggi ini juga bisa menular terhadap jajaran yang berada di bawahnya.

Dengan demikian harapannya Erick Tohir bisa membawa kementriannya jauh lebih baik bisa tercapai dan di rasakan manfaatnya. Baik itu oleh bangsa dan negara maupun masyarakat.

Namun, direkrutnya para perwira tinggi TNI Polri di jabatan sipil, termasuk di perusahaan pelat merah bukan tanpa tantangan. 

Mereka (para perwira tinggi TNI Polri. Red) harus dipastikan mampu menguasai pos yang ditempatinya. Sebab jika tidak justru akan menjadi blunder. Alih-alih menjadi lebih baik malah semakin ambyar karena top manajemennya tak menguasai masalah.

Selain itu, penulis berharap sebelum adanya rekruitmen TNI Polri ke lingkatan jabatan sipil, sepertinya harus ada penekanan pada dua hal utama.

Pertama, masuknya para perwira tinggi TNI untuk menjabat pada jabatan sipil dimungkinkan sepanjang sejalan dengan undang-undang dan semangat pembangunan demokrasi. 

Kedua, jangan sampai masuknya TNI untuk menjabat pada struktur birokrasi sipil ini membawa kita pada kembalinya konsep dwifungsi ABRI seperti pada masa lalu.

Dwifungsi ABRI

Wacana masuknya perwira TNI dalam jabatan sipil pada masa lalu adalah bagian dari doktrin dwifungsi ABRI yang digagas oleh Jenderal Besar AH Nasution. Dwifungsi sendiri dianggap merupakan bagian dari jalan tengah di tengah problem pelik tentang pembangunan bangsa saat itu.

Sejak lama kalangan militer merasa ditinggalkan dalam pembangunan. Padahal sumbangsih militer jelas tidak bisa diabaikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pada saat yang sama, demokrasi liberal yang menjunjung supremasi sipil justru menghasilkan kekisruhan yang tiada henti dalam pemerintahan.

Ketidakpercayaan militer atas kemampuan sipil untuk mengatur dan mengelola negara meningkat. Baik Bung Karno maupun petinggi militer, melihat hal itu sebagai masalah. Kompromi di antara keduanya menghasilkan akomodasi terhadap doktrin dwifungsi tersebut.

Doktrin ini kemudian membuat para perwira mendapatkan tempat yang strategis baik di dalam kementerian maupun dalam jabatan kepala daerah. 

Dwifungsi inilah yang turut menyebabkan pembangunan demokrasi Indonesia tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan. Puncaknya pada masa Orde Baru, seluruh birokrasi baik di pusat dan di daerah dominan rasa militernya.

Nah, saat ini baik di tatatan birokrasi pemerintah  pusat dan di jabatan-jabatan lainnya termasuk di BUMN para perwira tinggi baik yang aktif maupun pensiun mulai tampak marak. 

Tentu saja kita berharap perisitiwa-peristiwa kelam masa lalu terkait Dwi fungsi ABRI tidak ingin terulang.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun