Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Ada di Persimpangan Jalan

18 April 2020   22:52 Diperbarui: 18 April 2020   22:52 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PANDEMI global virus corona atau covid-19 sudah pasti bukan hanya menjadi masalah bangsa dan negara Indonesia, melainkan sudah menjadi masalah negara-negara lain di dunia, terutama yang terdampak.

Sudah hampir dipastikan, tidak ada satu kepala negara pun di dunia yang terdampak virus asal Wuhan, China ini bisa beristirahat dengan tenang, apalagi sampai sampai liburan bersama keluarga.

Mereka semua, termasuk Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) diyakini sedang pusing memikirkan bagaimana caranya agar virus corona secepatnya berakhir.

Pasalnya, dampak dari masifnya penyebaran virus ini tidak hanya sekedar mengancam keselamatan serta kesehatan manusia, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi, sosial, budaya, agama bahkan politik.

Bicara ekonomi, jika dikumpulkan, entah sudah berapa ribu triliun dana yang digelontorkan oleh negara-negara di dunia untuk menangani pandemi covud-19.

Di Indonesia sendiri, guna menangani virus corona, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana lebih dari 400 triliun. Jelas ini bukanlah jumlah yang sedikit. Begitu banyak sektor-sektor lain yang harus dikorbankan, sebut saja salah satunya pembangunan infrastruktur.

Besaran anggaran yang digelontorkan pemerintah ini, diantaranya akan dimanfaatkan untuk jaring pengaman sosial, belanja yang berkaitan dengan sektor kesehatan dan hal-hal lain yang tentunya sangat erat kaitannya dengan dampak penyebaran wabah virus corona.

Masalahnya, tentu penggelontoran uang atau anggaran sebesar itu bukan asal ambil dan bagikan. Tapi harus dibungkus dengan payung hukum yang jelas. Maka dari itu, dibuatlah regulasinya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Stabilitas Perekonomian di masa pandemi covid-19.

Dari sini, kita bisa lihat bahwa penggelontoran anggaran sebesar itu ingin membuktikan bahwa negara tidak tinggal diam. Negara hadir dan siap melindungi dan mengeluarkan warga negaranya dari situasi yang serba sulit ini.

Maka, terlepas dari ada kepentingan atau tidaknya, jelas niat pemerintah ini patut mendapatkan apresiasi.

Namun, tetap saja tidak selamanya niat baik pemerintah ini menghasilkan atau mendapat apresiasi. Selalu ada saja celah atau kekurangannya.

Setidaknya hal ini keluar dari politisi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu. Dia dengan tegas menyebut bahwa Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang diterbitkan Presiden Jokowi adalah kepentingan nyata oligarki dan sabotase UUD 45.

"Kepentingan segelintir orang yang menggunakan kuasa pengaruhnya di Istana untuk mendikte kebijakan negara sesuai keinginan segelintir kaum oligarki,"  ujarnya melalui pesan singkat, Sabtu (18/4). Dikutip dari CNNIndonesia.

Benar, bahwa Perppu adalah hak dan kewenangan presiden. Namun, menurut Masinton ada tiga syarat.

Masih dilansir CNNIndonesia, tiga syarat dimaksud antara lain ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Kemudian, undang-undang yang dibutuhkan belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Syarat lainnya yaitu kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Dikatakan Masinton, saat ini tidak ada kekosongan hukum yang membuat Perppu bisa diterbitkan. Dia menyebut pemerintah telah dibekali UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, serta UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Menurut Masinton, ketidaktegasan judul Perppu itu sama dengan ruang abu-abu yang bisa dimanfaatkan penumpang gelap atau kalangan oligarki yang memiliki kepentingan tertentu.

Boleh jadi, apa yang diutarakan Masinton ini ada benarnya. Hanya saja, bukan maksud penulis untuk memihak siapapun. 

Dalam menghadapi situasi yang sangat mengkhawatirkan dan kesulitan, tentu saja diperlukan gerak cepat, agar masalah bisa secepatnya teratasi.

Penulis rasa, orang-orang di pemerintahan sangat paham dan mengerti dengan apa yang diutarakan Masinton. Hanya saja mungkin ada pertimbangan lain hingga memandang perlu diterbitkan Perppu.

Sekali lagi tidak dalam kapasitas membela pemerintah atau Presiden Jokowi. Cuma, alangkah eloknya dalam situasi ini jauhkan dulu segala syak wasangka. Saat ini adalah waktunya semua elemen bersatu dan bahu membahu untuk sama-sama berupaya menangulangi wabah virus corona yang terus menggerogoti tiap sendi kehidupan di tanah air.

Konstitusi dan UUD 45 mungkin saja dasar atau pegangan kita untuk bernegara. Namun, keselamatan dan kelangsungan hidup masyarakat harusnya di atas segalanya.

Pun dengan pihak-pihak yang selama ini erat dengan lingkaran istana, penulis pun sangat berharap jangan hanya bisa memikirkan kesempatan dalam kesempitan seperti apa yang dituduhkan Masinton.

Singkirkan dulu segala kepentingan yang hanya akan menguntungkan segelintir pihak. Sementara di bawah ratusan juta warga masyarakat dibiarkan hidup dalam ketidak pastian.

Turunkan ego, naikan rasa empati, itulah yang harus dilakukan dalam situasi serba sulit ini. Jika para pejabatnya terus bergelut dengan adu paham dan argumentasi, lalu kapan akan benar-benar turun ke bawah dan membantu rakyatnya. Jangan sampai, rakyat sudah diserang kesulitan dan kelaparan, mereka baru sadar. Lalu kembali saling lempar kesalahan.

Di persimpangan Jalan

Tidak bisa dipungkiri, sejak mewabahnya pandemi virus corona, posisi Presiden Jokowi hampir selalu berada di persimpangan jalan.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini seolah sedang dalam belenggu sebagian kecil elite, sehingga setiap kebijakannya terkesan lamban dan kurang tegas. Yang ada, seolah sedang memainkan politik tarik ulur, dimana setiap kebijakan yang dikeluarkan adalah testing the water.

Tengok saja, dari awal merebaknya virus corona pada awal maret 2020 lalu, desakan sejumlah pihak yang menuntut Presiden Jokowi bertindak tegas telah muncul dari berbagai arah.

Namun apa yang terjadi, kebijakan Jokowi selalu saja nanggung. Kita lihat saja, pertama dia lebih memilih oprasi senyap dengan menggandeng Badan Intelejen Negara (BIN). Merasa kebijakannya ini tak menampakan hasil, mulailah masyarakat dihimbau untuk social distancing dan work from home.

Setali tiga uang, kebijakan ini pun tak berjalan efektif. Sempat terlintas akan diberlakukan karantina wilayah hingga darurat sipil. Namun, akhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang akhirnya diterbitakan, yang saat ini sudah diterapkan oleh beberapa daerah.

Namun, jika melihat grafik jumlah kasus positif virus corona terus saja meningkat tiap harinya. Boleh jadi, jika PSBB ini akan mengalami nasib serupa dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya.

Jika kembali tak berjalan sesuai rencana, kebijakan apa lagi yang akan keluar? Entahlah.

Penulis hanya berharap ketegasan Jokowi dalam bertindak. Jangan selalu ada di persimpangan jalan, yang akhirnya justru malah membuat rakyat makin sengsara.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun