DALAM dunia pewayangan, ada dua kubu yang mengibaratkan golongan putih atau baik dan golongan hitam yaitu berarti jahat. Kedua kubu ini seolah mengejawantahkan kehidupan sosial saat ini yang memang tidak lepas dari prilaku atau sipat baik dan buruk.
Golongan atau kubu putih ini diwakili oleh Pandawa untuk kemudian dikenal dengan pandawa lima. Sebab jumlahnya memang lima orang, yakni Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Sedangkan dari golongan atau kubu Kurawa berjumlah 100 orang bersaudara, dengan Duryudana sebagai kakak tertuanya.
Diceritakan dalam kisah Mahabrata, Kurawa adalah manusia dari segala licik, serakah dan jahat. Dengan kata lain hampir tidak ada kebaikan dalam hati mereka.
Upst, tapi dalam kesempatan ini bukan maksud penulis untuk menceritakan kisah pewayangan. Hanya saja, penulis tertarik dengan salah satu berita yang ditulis Vivanews.com edisi Jumat (3/4/20) yang menyinggung tentang kurawa.
Dalam berita itu disebutkan, bahwa mantan kader Partai Demokrat, Roy Suryo menyebut dalam cuitan twitter pribadinya bahwa Presiden banyak dikelilingi "kurawa" sehingga kebijakannya sering ambyar.
Dilansir Vivanews.com, Roy menjelaskan alasan dirinya menggunakan istilah kurawa. Hal itu merujuk pada istilah pewayangan dimana kurawa digambarkan sebagai kelompok antagonis.
Menurut Roy, banyaknya jumlah pembantu presiden malah jadi merepotkan Jokowi. Sebab, selain Jubir, ada 38 menteri dan 12 wakil menteri. Lalu, ada lagi 14 staf khusus yang 7 di antaranya kalangan milenial. Belum lagi deretan anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
"Kurawa jumlahnya 100, ini saya analogikan dengan jumlah pembantu-pembantu Presiden yang sangat banyak tapi karena saking banyaknya jadi unfaedah," ujar Roy
Memang apa yang diutarakan Roy Suryo terkait banyaknya pembantu Presiden tidak bisa disangkal. Contoh, posisi wakil menteri saja, yang masa pemerintahan periode pertamanya hanya diisi oleh tiga orang saja, di priode keduanya bertambah jadi 12 orang. Belum lagi melibatkan staff khusus dari kalangan milenial. Maaf, hingga hari ini penulis belum melihat sumbangsihnya seperti apa.
Lalu, apa hubungan dengan banyaknya pembantu mengakibatkan ambyarnya kebijakan Presiden Jokowi?
Mari kita ambil contoh kasus terdekat yang erat kaitannya dengan masalah yang sedang dihadapi saat ini, yaitu wabah virus corona (covid-19). Dalam pandangan atau hipotesa sederhana penulis tampak kebijakan yang dibuat Presiden Jokowi cenderung plin plan atau tidak tegas sehingga hasilnya ambyar.
Misal, di tengah kuatnya desakan masyarakat untuk secepatnya memberlakukan lockdown atau karantina wilayah guna memutus rantai penyebaran virus corona jangan sampai meluas lebih jauh, Presiden malah bergeming dengan anjuran social distancing dan work from home. Hasilnya dapat kita ketahui bersama, lonjakan kasus positif covid-19 terus terjadi.
Kemudian, Presiden Jokowi sempat mewacanakan aturan lebih tegas dengan rencana pemberlakuan darurat sipil. Namun nyatanya hanya memutuskan Pembatas sosial berskala besar (PSBB) yang dibarengi darurat kesehatan. Putusan ini mulai berlaku pada 1 April 2020 lalu.
Sama halnya dengan cara atau anjuran sebelumnya, PSBB ini juga belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan. Jumlah kasus positif covid-19 masih terus meningkat dengan angka rata-rata perharinya lebih dari 100 orang.
Lucunya, baru saja pemerintah pusat atau Presiden Jokowi menerapkan aturan PSBB dan darurat kesehatan, selang sehari kemudian justru mantan Gubernur DKI Jakarta ini tidak melarang masyarakat perantau yang ada di Jabodetabek untuk mudik.
Bagi penulis hal ini jadi membingungkan. Bagaimana PSBB bisa berjalan efektif jika kerumunan orang seolah tetap dibiarkan. Ya, secara otomatis dengan tidak adanya larangan mudik itu sama saja dengan membiarkan masyarakat untuk berkerumun dan saling berdekatan. Perlu diingat, mayoritas pemudik tersebut menggunakan transpormasi umum, yang mustahil bisa menjaga jarak.
Dengan demikian, alih-alih mampu memutus rantai penyebaran virus corona, yang ada malah sebaliknya. Kemungkinan besar virus ini malah ikut bereksodus bersama para pemudik ke daerah. Jika ini terjadi, tentunya yang menjadi korban adalah masyarakat sendiri.
Dari satu kasus ini saja bisa dilihat ambyarnya kebijakan Presiden Jokowi. Meski begitu, benarkah ini murni datang dari pemikiran Jokowi sendiri? Sejujurnya, penulis kurang begitu percaya.
Penulis melihatnya, kebijakan ini sarat dengan kepentingan dan bisikan dari para pembantunya. Mereka-mereka ini lebih menjaga stabilitas ekonomi dibanding dengan keselamatan masyarakat.
Alasan ini bukan tanpa berdasar. Presiden Jokowi sendiri pernah mengutarakan bahwa sengaja tidak memilih cara karantina wilayah dan mengambil PSBB sebagai solusinya karena tidak ingin roda perekonomian tanah air macet.
"Kita tetap aktivitas ekonomi ada, tetapi semua masyarakat harus menjaga jarak," kata Jokowi di RS Darurat Covid-19 di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (1/4/2020). Dikutip dari Kompas.com.
Dengan alasan ini, sangat besar kemungkinan bahwa yang memberikan masukan atau bisikan terhadap Presiden Jokowi tentu saja pembantu-pembantu presiden yang berkepentingan dengan bidang ekonomi.
Masih terkait virus corona, Presiden Jokowi pernah mengintruksikan atau meminta kepala daerah untuk bersikap lebih tegas mencegah warga mudik ke kampung halaman masing-masing.
Sebenarnya instruksi ini pernah dan langsung dieksekusi oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Namun pada akhirnya malah dibatalkan oleh Luhut Binsar Panjaitan sebagai Plt Menteri Perhubungan
Lagu, alasan pembatalan ini karena ingin menunggu kajian lebih lanjut mengenai dampak ekonomi. Jangan-jangan hal ini menandakan bahwa peran Luhut lebih besar daripada Presiden sendiri. Benarkah?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H