Memang apa yang diutarakan Roy Suryo terkait banyaknya pembantu Presiden tidak bisa disangkal. Contoh, posisi wakil menteri saja, yang masa pemerintahan periode pertamanya hanya diisi oleh tiga orang saja, di priode keduanya bertambah jadi 12 orang. Belum lagi melibatkan staff khusus dari kalangan milenial. Maaf, hingga hari ini penulis belum melihat sumbangsihnya seperti apa.
Lalu, apa hubungan dengan banyaknya pembantu mengakibatkan ambyarnya kebijakan Presiden Jokowi?
Mari kita ambil contoh kasus terdekat yang erat kaitannya dengan masalah yang sedang dihadapi saat ini, yaitu wabah virus corona (covid-19). Dalam pandangan atau hipotesa sederhana penulis tampak kebijakan yang dibuat Presiden Jokowi cenderung plin plan atau tidak tegas sehingga hasilnya ambyar.
Misal, di tengah kuatnya desakan masyarakat untuk secepatnya memberlakukan lockdown atau karantina wilayah guna memutus rantai penyebaran virus corona jangan sampai meluas lebih jauh, Presiden malah bergeming dengan anjuran social distancing dan work from home. Hasilnya dapat kita ketahui bersama, lonjakan kasus positif covid-19 terus terjadi.
Kemudian, Presiden Jokowi sempat mewacanakan aturan lebih tegas dengan rencana pemberlakuan darurat sipil. Namun nyatanya hanya memutuskan Pembatas sosial berskala besar (PSBB) yang dibarengi darurat kesehatan. Putusan ini mulai berlaku pada 1 April 2020 lalu.
Sama halnya dengan cara atau anjuran sebelumnya, PSBB ini juga belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan. Jumlah kasus positif covid-19 masih terus meningkat dengan angka rata-rata perharinya lebih dari 100 orang.
Lucunya, baru saja pemerintah pusat atau Presiden Jokowi menerapkan aturan PSBB dan darurat kesehatan, selang sehari kemudian justru mantan Gubernur DKI Jakarta ini tidak melarang masyarakat perantau yang ada di Jabodetabek untuk mudik.
Bagi penulis hal ini jadi membingungkan. Bagaimana PSBB bisa berjalan efektif jika kerumunan orang seolah tetap dibiarkan. Ya, secara otomatis dengan tidak adanya larangan mudik itu sama saja dengan membiarkan masyarakat untuk berkerumun dan saling berdekatan. Perlu diingat, mayoritas pemudik tersebut menggunakan transpormasi umum, yang mustahil bisa menjaga jarak.
Dengan demikian, alih-alih mampu memutus rantai penyebaran virus corona, yang ada malah sebaliknya. Kemungkinan besar virus ini malah ikut bereksodus bersama para pemudik ke daerah. Jika ini terjadi, tentunya yang menjadi korban adalah masyarakat sendiri.
Dari satu kasus ini saja bisa dilihat ambyarnya kebijakan Presiden Jokowi. Meski begitu, benarkah ini murni datang dari pemikiran Jokowi sendiri? Sejujurnya, penulis kurang begitu percaya.
Penulis melihatnya, kebijakan ini sarat dengan kepentingan dan bisikan dari para pembantunya. Mereka-mereka ini lebih menjaga stabilitas ekonomi dibanding dengan keselamatan masyarakat.