Dengan tidak adanya larangan mudik, bagaimana PSBB sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus corona bisa berjalan efektif jika masyarakat perantau yang ada di Jakarta dan sekitarnya dibebaskan berkeliaran di luar dan bergerombol.
Ya, bagaimana tidak bergerombol, mayoritas masyarakat Indonesia masih memakai alat transpormasi umum saat mudik. Bukankah ini berpotensi besar terjadinya penularan?
Betul, berbarengan dengan tidak adanya larangan mudik, Pemerintah Pusat dan daerah berkoordinasi untuk memastikan bahwa setiap orang yang mudik secara otomatis dilabeli status orang dalam pantauan (ODP).
Secara teori apa yang dikatakan Presiden Jokowi ataupun Luhut memang sangat mudah untuk diucapkan. Cuma dalam praktiknya, penulis yakin tidak sesederhana itu.
Dengan ribuan masyarakat pemudik menyebu daerah, bukan perkara gampang untuk memantau orang per orangnya. Belum lagi jika fasilitas di daerah tidak mendukung, tentunya hanya akan memperparah keadaan.
Kendati demikian, penulis coba memahami dengan hipotesa sederhana penulis terkait hal ini.
Dari cara Presiden Jokowi menyampaikan kata per katanya terkait tidak adanya larangan mudik yang penulis lihat pada acara kabar petang TV One, sama sekali tidak tampak lugas. Sebaliknya, seperti penuh dengan keragu-raguan.
Dalam hal ini penulis berpikir, dalam hati yang terdalam, Presiden Jokowi sebenarnya tidak ingin hal ini terjadi. Karena, dia meyakini akan resikonya jika terjadi arus mudik.
Namun, kembali apapun yang terjadi negeri ini selalu tidak lepas dari berbagai kepentingan, baik itu politik, ekonomi maupun sosial. Nah, karena adanya dorongan kepentingan inilah, Presiden Jokowi terpaksa mengijikan warganya untuk mudik.
Pertanyaannya, kepentingan mana yang bisa memaksa Presiden Jokowi akhirnya mengijinkan adanya arus mudik?
Inilah yang sulit dijawab. Sebab kalau kepentingan politik, rasanya kecil kemungkinan. Presiden Jokowi sudah tidak akan lagi mencalonkan diri pada Pilpres mendatang.