Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Resmi, Pemerintah Larang Ekspor Masker, Ini Sanksinya!

18 Maret 2020   14:55 Diperbarui: 18 Maret 2020   21:32 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


SEIRING dengan mewabahnya pandemi virus corona (covid-19), kebutuhan masyarakat akan penggunaan masker menjadi naik berlipat-lipat. Tentu saja, ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya pencegahan diri tidak tertular bagi yang masih sehat dan tidak menularkan bagi yang sakit.

Kebutuhan akan masker ini, tentu saja tidak hanya terjadi di tanah air tapi juga hampir seluruh negara di dunia terutama yang sudah terkena dampak.

Bicara tentang masker di saat situasi dunia tengah dicekam ketakutan oleh "serangan" virus corona, memang menjadi topik menarik untuk disikapi, bahkan tak jarang beberapa media mainstream mengangkat benda kecil berbahan kain tipis ini jadi berita utama.

Tengok saja saat awal-awal Presiden Jokowi mengumumkan adanya kasus positif terinfeksi virus corona per 2 Maret 2020 lalu, dan terjadi kepanikan warga. Masker menjadi salah satu barang yang paling sangat diburu.

Sejak itu, masker menjadi kebutuhan primer terutama bagi mereka yang memiliki aktifitas tinggi. 

Parahnya, kebutuhan tinggi masyarakat terhadap benda "pelindung" dari penyebaran virus ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum spekulan dengan cara menimbun dan kemudian menaikan harga.

Tidak hanya berlaku bagi spekulan yang bermain "nakal" dengan masker. Bahkan, merujuk pada ulasan Kompasianer senior, Bung Hendra Wardana. 

Dia mengulas bahwa perusahaan Kimia Farma sejatinya menjual harga masker Rp. 2000/ lembar yang tersebar di jaringan apotiknya, sesuai arahan Menteri BUMN, Erick Tohir. Tapi ternyata realita di lapangan tidak ada bedanya dengan para spekulan yang beredar, yakni ikut-ikutan menaikan harga.

Menurut Bung Hendra, masyarakat diharuskan menebus selembar masker dengan harga Rp. 5.000 atau Rp. 10.000 per dua lembarnya.

Kendati pada ulasan kedua Bung Hendra, pihak Kimia Farma telah mengakui kesalahan dan akan menindak tegas oknum penjual masker di apotik Kimia Farma. Tetap saja, menurut hemat penulis hal tersebut mengindikasikan bahwa kebutuhan masker yang tinggi ini dimanfaatkan sebagian pihak untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan memanfaatkan situasi sulit yang tengah dihadapi masyarakat.

Jelas ini sangat memprihatinkan kita semua dan membutuhkan peran aktif pemerintah untuk segera mengantisifasi hal ini agar tidak berkelanjutan. 

Jangan sampai rakyat yang sudah dilanda kesedihan, ketakutan dan kesusahan ditambah lagi dengan adanya kelangkaan atau kenaikan harga masker yang sudah diluar nalar.

Nah, berkaitan dengan masker pula, hari ini, Rabu (18/3/20) pemerintah secara resmi melarang terhadap perusahaan atau siapapun untuk mengekspor masker.

Seperti dilansir detikcom, larangan ekspor ini juga berlaku untuk antiseptik (termasuk hand sanitizer dan hand rub), bahan baku pembuatnya, serta alat pelindung diri seperti pakaian bedah dan pakaian pelindung medis untuk sementara waktu.

Larangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 23 tahun 2020.

Dalam pasal 3 Permendag tersebut, eksportir yang masih mengirim produksinya ke luar negeri akan diberikan sanksi. Berikut bunyi beleid tersebut:

"Eksportir yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Masih dilansir detikcom, dikatakan Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, sanksi bagi eksportir yang melanggar tertuang dalam Undang-undang (UU) nomor 7 tahun 2014 tentang perdagangan.

"Sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang. Aturan sanksinya ada di pasal 112 UU Perdagangan nomor 7 tahun 2014," kata Oke kepada detikcom, Rabu (18/3/2020).

Berdasarkan UU tersebut, sanksi bagi perusahaan yang melanggar ada di ayat (1) pasal 112 yang berbunyi:

"Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan sebagai Barang dan/atau Jasa yang dilarang untuk diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."

Perlu diketahui, Permendag nomor 23 tahun 2020 berlaku satu hari sejak diundangkan, yang tepatnya mulai hari ini, (18/3), dan akan berlaku sampai 30 Juni 2020. Sehingga, bagi perusahaan yang melanggar aturan tersebut akan dikenakan sanksi sesuai bunyi pasal di atas.

Mudah-mudahan dengan telah diberlakukannya Permendag Nomor 23, tahun 2020 ini, tidak ada lagi perusahaan atau golongan-golongan tertentu yang berbuat "nakal" dengan memanfaatka situasi sulit semacam ini demi keuntungan pribadinya.

Dalam hal ini, penulis mengapresiasi atas langkah pemerintah yang telah menerbitkan Permendag dimaksud. Dengan demikian, diharapkan ketersediaan masker di tanah air cukup melimpah dan harganya terjangkau.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun