Mungkin bisa dipahami maksud pemerintah masih bermain "petak umpet" atau "menyembunyikan" dan membatasi informasi data terkait corona yang diduga telah menyebar ke beberapa daerah di tahah air.
Kebijakan tersebut mungkin terpaksa diberlakukan pemerintah, selain alasan kode etik, boleh jadi untuk menjaga kondusifitas warga di tanah air. Jangan sampai terjadi kepanikan dan kekhawatiran berlebihan.
Contohnya sempat terjadi waktu Presiden Jokowi pertama kali mengumumkan adanya kasus positif virus corona di Indonesia.
Kaget yang berlebihan itu akhirnya menimbulkan rasa panik dari warga. Mereka secara "membabi buta" mengunjungi pusat perbelanjaan terdekat untuk membeli segala kebutuhannya.
Jelas hal ini bila dibiarkan terus terjadi bisa jadi akan menimbulkan dampak negatif lainnya. Sebut saja kesenjangan sosial dan bukan mustahil terjadi chaos.
Selain itu, boleh jadi pembatasan informasi itu untuk meminimalisir prilaku oknum-oknum yang ingin memanfaatkan situasi ini guna keuntungan pribadi.Â
Contohnya sudah terjadi, seperti pelonjakan harga masker yang di luar batas kewajaran. Pun dengan harga rempah-rempah, contohnya harga jahe yang meroket dan langka di pasaran.
Hal lainya, pemerintah mencoba untuk menjaga nama baik pasien dan kuarganya jangan sampai diketahui banyak pihak.Â
Kemudian, menjaga rumah sakit-rumah sakit yang saat ini mungkin tengah merawat pasien Positif virus corona, jangan sampai ditinggalkan oleh masyarakat yang ingin berobat ke rumah sakit dimaksud.
Itulah hipotesa penulis menyoal kebijakan pemerintah yang sementara ini masih belum mau membuka data besar tentang daerah-daerah yang diduga telah menjadi pusat penularan virus corona.
Kendati demikian, kebijakan pemerintah dalam membatasi informasi tersebut justru malah jadi bumerang. Pasalnya, dengan sedikit informasi yang diperoleh masyarakat, bukan mustahil akan mengurangi tingkat kewaspadaan masyarakat. Terutama, di daerah-daerah yang diduga merupakan sumber penularan vitus corona.