KASUS-kasus penarikan kendaraan bermotor, baik kendaraan roda dua ataupun empat oleh pihak leasing atau perusahaan multi finance dengan mengunakan jaksa debt collector sudah bukan lagi barang terjadi di tanah air.
Masalahnya, fakta di lapangan penarikan atau dalam istilah anak-anak Sumedang lebih dikenal dengan sebutan "metik" ini acap kali terjadi keributan. Antara si Debt Collector dengan pihak yang akan dipetik kendaraannya.
Hal itu terjadi, lebih karena si pihak Debt Collector seringkali menggunakan cara-cara paksa menjurus kasar. Hingga akhirnya terjadi silang pendapat hingga keributan.
Bahkan, tak jarang terjadi bentrok fisik dengan Debt Collector dimaksud hingga terjafi penyerangan massa terhadap kantor-kantor leasing.
Kenapa ini bisa terjadi?
Pertama seperti penulis sebut di atas, acap kali tata cara para Debt Collector yang seolah tidak tahu aturan. Mereka cenderung menggunakan cara-cara paksa, tidak sopan menjurus kasar.
Kedua, sebagian masyarakat saat ini sudah paham, bahwa Debt Collector tidak berhak untuk mengambil kendaraan bermotor apalagi dilakukan di jalan.
Masyarakat juga sudah banyak yang paham, kasus wanpestasi yang telah dilakukan oleh si masyarakat ini bisa menjadikan posisinya di atas angin jika si Debt Collector melakukan tindakan paksa dan kekerasan serta perampasan terhadap kendaraan bermotor masyarakat.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 368 dan Pasal 365 KUHP Ayat 2, 3, dan 4 junto Pasal 335. Tindakan atau perlakuan Debt Collector tersebut pada kategori tindak pidana tentang pencurian dengan kekerasan atau perampasan.