Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Kepatutan Aksi Massa 212 tentang Orasi "Jatuhkan Jokowi"

22 Februari 2020   10:40 Diperbarui: 22 Februari 2020   12:14 2122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


JIKA anda seorang kepala rumah tangga yang memiliki banyak anak, bagaimana rasanya? Repot bukan? Kecenderungannya memang seperti itu, apalagi jika karakter atau prilaku dari anak-anak anda ini satu sama lain berbeda, pastinya akan lebih merepotkan.

Tidak saja berpikir bagaimana caranya bisa mensejahterakan anak-anak anda. Tapi bagaimana bisa memuaskan mereka, yang sudah barang tentu keinginan dan tuntutannya berbeda pula.

Penulis yakin, seorang kepala rumah tangga atau dalam hal ini sosok ayah akan senantiasa melakukan hal terbaik untuk anak-anaknya, meski mungkin yang dilakukannya tidak bisa memuaskan semua pihak.

Nah, ibarat seorang kepala rumah tangga dan sosok ayah, Presiden Jokowi adalah seorang kepala dari rumah tangga yang bernama Indonesia dan anaknya tentu saja kita-kita yang menjadi masyarakatnya.

Sebagai masyarakat, di belahan dunia manapun termasuk di Indonesia pastinya memiliki beragam keinginan dan tuntutan. Wajar, karena itu sudah menjadi hak dan kodrat manusia untuk selalu menginginkan sesuatu yang belum dimiliki.

Lalu, pada siapa kita meminta? Tentu saja sebagai seorang anak pasti mengajukan permintaan tersebut terhadap sosok ayah. Pun dengan masyarakat, mereka pastinya akan memintanya pada seorang pimpinan.

Masalahnya, tidak semua yang diinginkan belum tentu mampu dikabulkan, baik itu oleh seorang ayah bagi anaknya atau presiden bagi masyarakatnya. Karena bagaimanapun mereka punya keterbatasan.

Apalagi yang meminta dan menuntut hak tidak hanya sendiri atau sekelompok orang, melainkan banyak pihak, yang seperti penulis katakan tadi berbeda pula keinginannya.

Pertanyaannya, jika keinginan kita tidak dikabulkan, apa yang akan dilakukan? Arogan dengan cara memaksa dan melakukan aksi kekerasan, atau lebih memilih bicara baik-baik? Tentu saja hal ini dikembalikan pada diri kita masing-masing.

Nah, bicara tentang keinginan dan tuntutan, kemarin, Jumat (21/2/2020), salah satu elemen anak bangsa, yang tergabung dalam massa aksi 212 menggelar aksi demo di sekitaran Silang Monas, Jakarta.

Dalam aksinya, massa aksi 212 yang merupakan gabungan dari Front Pembela Islam (FPI), GNPF Ulama dan Persaudaraan Alumni (PA) 212, menuntut beberapa hal terhadap pemerintah, seperti berantas mega korupsi dan selamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penulis lihat, tidak ada yang salah dengan dua tuntutan ini dan sudah selayaknya kita sebagai masyarakat atau anak bangsa menginginkan segala bentuk prilaku korup yang konon kabarnya telah menggurita diberantas hingga ke akar-akarnya. Karena akibat prilaku jahat yang satu ini tidak sedikit rakyat sengsara dan harus menanggung akibatnya.

Kita tidak bisa menutup mata, paska Undang-Undang korupsi Nomor 30 Tahun 2002 direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019, memang ada semacam degradasi kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di tanah air.

Karena, dalam perubahan UU korupsi itu terdapat beberapa poin yang berpotensi "pedang tajam" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi "tumpul".

Lalu, tuntutan tentang selamatkan NKRI, penulis pun sangat sepakat. Bagaimanapun NKRI adalah tanah air kita yang harus dipertahankan sekuat tenaga dari rongrongan pihak manapun yang berusaha ingin memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Tapi, di luar dari dua tuntutan itu, penulis jadi mengernyitkan dahi ketika aksi ini jadi melebar kemana-mana. Ya, salah satunya menjadi bahan perbincangan hangat hingga hari ini, yaitu terkait adanya pihak-pihak yang tergabung dalam aksi massa 212 yang ingin "menjatuhkan" Jokowi.

Bagaimanapun keinginan untuk menjatuhkan Jokowi dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia adalah inkonstitusional. Bukannya presiden tidak bisa dijatuhkan atau Impeachment tapi semua itu dipagari aturan yang jelas menurut UUD 45.

Pantas, jika atas adanya orasi "jatuhkan" Jokowi memantik reaksi pihak Istana. Sebagamaina dilansir Detiknews.com, Tenaga Ahli Utama KSP Donny Gahral Adian saat dikonfirmasi, Jumat (21/2/2020) malam, mengatakan, hal tersebut sudah kelewatan dan menjurus inkonstitusional.

"Jadi saya kira demonstrasi, unjuk rasa itu termasuk kebebasan berpendapat dan dilindungi UU tetapi ada batasnya. Jika mengarah kepada hal-hal yang sifatnya inkonstitusional, tentu saja ini tidak benar, tidak bisa dibenarkan," kata Dony.

Dalam kesempatan itu, Doni mengaku bahwa pihak Istana tidak akan merespons orasi tersebut. Sebab, Presiden Jokowi adalah kepala negara yang sah dan terpilih melalui Pilpres 2019.

"Saya kira itu hanya pernyataan ya. Sejauh itu hanya pernyataan, ya saya kira tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sejauh hanya pernyataan ya, bukan suatu yang mengarah kepada tindakan yang sungguh-sungguh ingin menjatuhkan presiden karena presiden sudah dipilih secara demokratis dan tidak bisa secara sembarangan dijatuhkan di tengah jalan," sebut Donny.

Benar kata Dony, bahwa menjatuhkan presiden atau bahkan wakil presiden sangatlah sulit dan berliku. Tidak sembarang bisa dilakukan, meski bukan berarti tidak bisa dilakukan.

Sebagaimana diatur alam UUD 45 pasal 7A, presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wapres.

Jika mengacu pada UUD 45 tersebut memang celah itu sangat kecil, karena bagaimanapaun Presiden Jokowi hingga saat ini tidak masuk dalam kategori yang disebutkan dalam undang-undang dimaksud.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun