SEPERTI biasanya, sebelum beraktivitas memburu berita, aku selalu menyempatkan diri mampir di sebuah kedai kopi yang ada di dekat taman Alun-alun Sumedang.
Ya, rasanya ada yang kurang jika aku tidak menyempatkan dulu ke kedai itu. Kopi giling hasil seduhan Mang Dirman memang benar-benar terasa nikmat dan mampu memberikan energi tambahan untuk mampu menaklukan hari-hari yang selalu disibukan oleh pekerjaan.
Setiap pagi nongkrong di kedai kopi Mang Dirman, aku juga hampir setiap hari melihat seorang kakek masih begitu gigih menjual kacang rebus di areal taman Alun-alun Sumedang.
Kakek ini sudah tampak kurus dengan postur tubuh mulai sedikit bungkuk. Tapi, sepertinya kekurangan tersebut tidak menjadikan halangan untuknya mengais rejeki. Entah mengapa, hari itu muncul perasaan iba dalam diri. Kuputuskan dalam hati untuk memberi sedikit rejeki padanya.
"Kek, bisa kemari, sebentar!"
Mendengar seruanku, si kakek berbegas menghampiri dengan wajah sumringah. Mungkin dia merasa, aku akan membeli kacang rebusnya. "Iya, Nak. Tunggu sebentar."
Setelah jarak diantara kami begitu dekat, si kakek langsung menyodorkan kacang rebus, jualannya.
"Mau beli berapa bungkus?"
"Oh, mending kakek duduk dulu! Mau minum kopi?"
"Oh, tidak. Terimakasih, kakek masih harus berjualan."
"Tenang saja, Kek. Nanti aku beli kacang rebusnya. Sekarang, mending kakek ngopi dulu!" Kataku, setengah memaksa.
"Tapi ..."
"Udah, kakek tidak usah banyak pikiran! Nanti aku yang bayar kopinya."
Meski raut wajahnya tampak begitu segan si kakek menurut juga dan duduk persis di sampingku. Ada rasa kikuk yang terpancar dari wajahnya. Mungkin dia tidak terbiasa nongkrong seperti itu. Sementara, aku lihat, barang dagangannya masih banyak.
Setelah kupesankan segelas kopi untuk si kakek, aku mulai membuka pecakapan. Sekedar memecahkan suasana, daripada saling berdiam diri.
"Kakek darimana asalnya?" Tanyaku.
"Kakek berasal dari Rancakalong, Nak!" Jawab si kakek, menyebutkan asal daerahnya, yang ternyata cukup jauh juga dari pusat Kota Sumedang. Jaraknya, tidak kurang dari 20 Kilo Meter.
"Waduh, jauh banget. Dari sana naik apa, Kek?"
"Ya, berjalan kaki saja, Nak. Kalau naik kendaraan, mana bisa laku jualannya."
Aku cukup kaget mendengar jawaban si kakek. Orang setua itu masih mampu menempuh jarak puluhan kilo jaraknya. "Itu, tiap hari kakek lakukan?"
"Ya, iya nak. Kalau tidak begitu, darimana kakek dapat uang," Jawab si kakek, sambil menyeruput kopi yang aku pesankan tadi.
Aku menjadi semakin iba saja dengan si kakek. Aku saja yang usianya mungkin pantas sebagai cucunya, kadang suka dihantui rasa capek dan bosan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Padahal, pekerjaanku tentu saja tidak seberat dia.
"Jujur, Kek. Aku kagum sekaligus heran atas semangat kakek. Tiap hari bolak-balik dari Rancakalong ke sini. Apa kakek tidak capek atau bosan?" Mungkin pertanyaanku ini bodoh, tapi merasa harus mengungkapkannya.
"Kalau capek, ya pastinya capek, Nak."
"Bosan, juga?" Susulku.
"Tidak ..."
"Kenapa?" Tanyaku, penasaran.
Ditanya seperti itu, si kakek mendadak membisu. Bukan diam biasa. Ada pancaran kebijaksanaan dan wibawa yang tercipta di wajahnya. Sejurus kemudian, si kakek menghela napas, mengisi ruang kosong di dadanya. Lalu, menoleh padaku dan mulai menjawab tanyaku dengan sebuah pertanyaan.
"Kamu tahu matahari bukan?"
"Iya, Kek."
"Kamu pasti tahu, matahari itu bersinar disiang hari. Muncul di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Dia bertugas menerangi bumi, memberi kehidupan untuk makhluk yang ada."
Aku hanya terdiam mendengar penuturan si kakek, sambil menunggu apa yang akan disampaikan selanjutnya.
"Kalau matahari berhenti sejenak saja dari tugasnya, kira-kira apa yang bakalan terjadi?" si kakek, kembali bertanya.
"Kacau, Kek," Jawabku sekenanya.
"Terus, bagaimana pula jadinya jika matahari ikut bosan dan meninggalkan tugasnya?" si Kakek terus melontarkan pertanyaan retoris.
Aku tetap diam, sambil merenungi ucapan si kakek.
"Begitulah, bagaimana pula kakek akan bosan  bolak-balik dari rumah ke sini. Jika kakek bosan dan berhenti bekerja, tentunya isteri kakek tidak akan makan. Bukankah begitu, Nak?"
Aku terharu mendengar untaian petuah si kakek barusan. Aku tidak menyangka sedikitpun kalau dari lisan lelaki tua yang tidak sempat menyelesaikan sekolah dasar ini mampu memberikan motivasi dan pencerahan padaku, meskipun profesinya hanyalah sebagai pedagang kacang rebus.
"Oh, ya nak. Terimakasih kopinya. Kakek harus kembali berjualan!"
Sesuai niatku tadi, aku segera memberi sedikit uang padanya. Namun, ternyata dia menolaknya.
"Tidak, Nak. Kakek tidak ingin dikasihani. Kalau mau, beli saja kacang rebus kakek. Itu lebih berharga buat kakek."
Jujur, aku semakin kagum saja terhadap si kakek. Meski hidup tidak berkecukupan, dia masih memiliki harga diri tinggi. Tidak ingin keadaannya menjadikan belas kasih orang.
TAMAT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H