"Kacau, Kek," Jawabku sekenanya.
"Terus, bagaimana pula jadinya jika matahari ikut bosan dan meninggalkan tugasnya?" si Kakek terus melontarkan pertanyaan retoris.
Aku tetap diam, sambil merenungi ucapan si kakek.
"Begitulah, bagaimana pula kakek akan bosan  bolak-balik dari rumah ke sini. Jika kakek bosan dan berhenti bekerja, tentunya isteri kakek tidak akan makan. Bukankah begitu, Nak?"
Aku terharu mendengar untaian petuah si kakek barusan. Aku tidak menyangka sedikitpun kalau dari lisan lelaki tua yang tidak sempat menyelesaikan sekolah dasar ini mampu memberikan motivasi dan pencerahan padaku, meskipun profesinya hanyalah sebagai pedagang kacang rebus.
"Oh, ya nak. Terimakasih kopinya. Kakek harus kembali berjualan!"
Sesuai niatku tadi, aku segera memberi sedikit uang padanya. Namun, ternyata dia menolaknya.
"Tidak, Nak. Kakek tidak ingin dikasihani. Kalau mau, beli saja kacang rebus kakek. Itu lebih berharga buat kakek."
Jujur, aku semakin kagum saja terhadap si kakek. Meski hidup tidak berkecukupan, dia masih memiliki harga diri tinggi. Tidak ingin keadaannya menjadikan belas kasih orang.
TAMAT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H