Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bocah Pedagang Asongan

2 Februari 2020   21:17 Diperbarui: 2 Februari 2020   22:23 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terminal Sumedang, tidak begitu ramai malam itu. Sepuluh tahun lalu. Saat itu, aku masih seorang mahasiswa semester lima.

Seharusnya, aku tidak bablas ke terminal jika aku tidak ketiduran dalam bus trayek Bandung-Tegal. Karena, tempat rumahku tinggal berada sebelum terminal Sumedang. Namun, sudahlah. Memang, salahku sendiri kenapa harus ketiduran.

Sambil menunggu angkutan umum lewat, aku memesan segelas kopi di sebuah kedai kecil yang ada di Terminal. untuk sekedar menghangatkan tubuh. Udara malam itu memang sangat dingin, setelah seharian diguyur hujan.

Tengah menikmati segelas kopi, dari sudut mataku kulihat seorang bocah seumuran duduk di bangku sekolah dasar, tampak kedinginan sambil membawa kotak berisi barang dagangan. Semisal, roko, air mineral dan sebagainya, duduk melamun di bangku tempat penumpang menunggu bus. Rupanya, bocah ini seorang pedagang asong.

Melihat bocah itu, aku jadi teringat masa kecilku waktu masih duduk di bangku SMP. Kerap kali sepulang sekolah, suka berdagang asong di pom bensin dekat rumah. Itu kulakukan untuk membantu ibuku yang banting tulang memenuhi kebutuhan keluarga. Maklum, kami adalah keluarga yang hidup serba kekurangan.

Setelah lama kupandangi bocah itu, timbul rasa iba dalam hatiku. Lalu,  setelah kubayar kopiku, aku pun bergegas menghampiri si bocah yang tengah melamun.

"Dek, sini! Kataku, mengagetkan lamunan si bocah. Bukannya marah, si bocah malah kelihatan gembira. Dia pun bergegas menawarkan barang dagangannya, padaku.

"Mau beli apa kak? Rokok, minuman atau permen." Si bocah, tampak begitu semangat menawarkan barang dagangannya.

Sebenarnya, saat itu aku tidak butuh apa-apa. Namun, karena rasa ibaku, kuputuskan untuk membeli sebungkus rokok dan air mineral.

Si bocah sangat gembira begitu aku memesan barang dagangannya. "Alhamdulillah, akhirnya ada yang beli juga."

Namun, sebelum aku bayar, aku coba mengajak ngobrol dulu si bocah.

Di perkenalan, bisa eksplor dialog lagi. Biar bertahap.

"Namamu siapa?"

"Gilang, Kak!"

"Udah malam masih jualan?"

"Iya."

"Kamu gak belajar? Eh, masih sekolah, kan?"

Bocah itu tidak langsung menjawab, saat aku lemparakan pertanyaan tadi. Namun, sejurus kemudian, dia menggelengkan kepalanya.

"Hey, kenapa? Orang tuamu masih ada, kan?"

"Aku hanya punya ibu, kak. Tapi, sekarang sedang sakit. Biasanya, dia juga suka berjualan serabi di tempat ini."

"Lalu, Ayahmu?"

"Ayah sudah meninggal, kak. Kata ibu, waktu usiaku tiga tahun."

Mendengar penuturan si bocah, aku makin merasa iba. Pengalaman pahit yang dia alami juga menimpa pada diriku. Hanya, bedanya ayahku pergi dan menikah lagi.

"Oh, ya maafkan kakak. Semoga, bapakmu tenang, di sana." Ucapku, coba untuk menghibur si bocah.

"Tidak apa-apa, kak. Aku sudah terbiasa dengan hal ini," Ucap Si bocah dengan begitu tenangnya.

"Jadi, kamu jualan untuk membiayai ibumu sakit atau apa?" Aku terus bertanya, sekedar menghilangkan rasa penasaran.

"Iya, kak. Kalau dapat untung, uangnya aku belikan untuk obat ibu dan makanan."

Jujur, waktu itu aku langsung tertegun mendengar ucapannya. Sungguh seorang bocah yang kuat, pikirku.

"Oh, ya. Biasanya kalau jualan asong begini suka dapat untung berapa?"

"Ya, tidak tentu, kak. Kadang suka dapat lumayan kalau lagi ramai. Kalau sepi seperti sekarang, bisa jadi untungnya kecil banget."

Perasaanku kala itu semakin terenyuh. Melihat dan mendengar penuturan si bocah yang sudah harus memikul tanggung jawab besar sebagai tulang punggung keluarganya.

Tak terasa, perbincangan kami saat itu cukup lama juga. Setelah aku bayar barang jualaannya yang aku beli dengan uang lebih, aku pun memutuskan untuk pulang.

Ada pelajaran dan hkmah luar biasa yang kudapat setelah mengenal bocah pedagang asong tadi. Selama ini, aku selalu berpikir, bahwa aku adalah anak yang sangat tidak beruntung. Ayahku, entah dimana. 

Masa kecilku dihabiskan untuk bekerja keras membanting tulang hanya untuk mampu membiayai sekolah. Karena penghasilan yang diperoleh ibu tidak pernah bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Tapi, setelah melihat penderitaan si bocah pedagang asong tadi, ternyata aku masih termasuk anak yang sangat beruntung. Meski hidupku sulit, tapi aku masih bisa mengenyam pendidikan yang layak. Bahkan, bisa meneruskan hingga ke perguruan tinggi.

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun