Mendengar penuturan si bocah, aku makin merasa iba. Pengalaman pahit yang dia alami juga menimpa pada diriku. Hanya, bedanya ayahku pergi dan menikah lagi.
"Oh, ya maafkan kakak. Semoga, bapakmu tenang, di sana." Ucapku, coba untuk menghibur si bocah.
"Tidak apa-apa, kak. Aku sudah terbiasa dengan hal ini," Ucap Si bocah dengan begitu tenangnya.
"Jadi, kamu jualan untuk membiayai ibumu sakit atau apa?" Aku terus bertanya, sekedar menghilangkan rasa penasaran.
"Iya, kak. Kalau dapat untung, uangnya aku belikan untuk obat ibu dan makanan."
Jujur, waktu itu aku langsung tertegun mendengar ucapannya. Sungguh seorang bocah yang kuat, pikirku.
"Oh, ya. Biasanya kalau jualan asong begini suka dapat untung berapa?"
"Ya, tidak tentu, kak. Kadang suka dapat lumayan kalau lagi ramai. Kalau sepi seperti sekarang, bisa jadi untungnya kecil banget."
Perasaanku kala itu semakin terenyuh. Melihat dan mendengar penuturan si bocah yang sudah harus memikul tanggung jawab besar sebagai tulang punggung keluarganya.
Tak terasa, perbincangan kami saat itu cukup lama juga. Setelah aku bayar barang jualaannya yang aku beli dengan uang lebih, aku pun memutuskan untuk pulang.
Ada pelajaran dan hkmah luar biasa yang kudapat setelah mengenal bocah pedagang asong tadi. Selama ini, aku selalu berpikir, bahwa aku adalah anak yang sangat tidak beruntung. Ayahku, entah dimana.Â