MALAM itu bintang bekerlap kerlip dengan indah di temani sang dewi malam yang sinarnya masih malu-malu. Maklum purnama belum tiba. Kendati demikian, sinar bulan yang masih berbentuk sabit itu sudah cukup menemani Iqbal bermain gitar di beranda rumah kontrakannya. Jari-jari lincah pemuda ini terus memetik gitar hingga mampu mengeluarkan melodi merdu lagu-lagu lawas. Kefasihannya bermain gitar dan suaranya yang merdu, membuat Iqbal terkenal di kalangan para pengamen jalanan sebagai dewa gitar.
"Berisik ah..! Ganggu orang mau tidur aja" Bentak seseorang dari dalam rumah. Tak lama kemudian si pemilik suara itu keluar.
"Eh kamu belum tidur ko?" Tanya Iqbal pada Eko, teman satu kostnya.
"Bagaimana aku mau tidur. Kamu berisik mulu" Ketus Eko.
"Ya maaf...! Aku kan kudu mengasah terus permainan gitarku, biar para penikmat permainan gitar dan suaraku tidak jengah"
"Ah gayamu kaya artis saja. Namanya ngamen, modalnya cuma tebal muka. Ngapain bagus-bagus, kaya mau dibayar gede aja" Ejek Eko sambil menyambar kopi milik Iqbal yang tinggal setengah gelas.
Diejek seperti itu, Iqbal tak lantas marah. Sebaliknya, dia malah tersenyum. Pengamen bus kota ini faham betul tabiat temannya. Sombong, pelit dan suka merendahkan orang, termasuk pada dirinya. Mentang-mentang dirinya seorang pegawai bank, Eko seringkali merendahkan pekerjaan Iqbal, yang dianggapnya hina. Namun semua itu tak pernah digubrisnya. Prinsip Iqbal, kerjaannya tidak melanggar hukum dan halal.
"Ya nasib orang kan siapa tahu sobat" Kelakar Iqbal.
"Ah kamu bisanya cuma mimpi. Udah ah mending tidur..!"
"Ayo. Aku juga udah ngantuk" Sahut Iqbal.
**
Iqbal anteng menghitung duit recehan di halte bus sambil melepas lelah, setelah dari pagi sampai siang ini ngamen dari bus kota satu ke bus kota lainnya. Meski tak seberapa besar penghasilannya, pemuda ini tak pernah sedikitpun mengeluh. Bagi Iqbal, kewajiban manusia di muka bumi ini berusaha dan berdoa. Selebihnya adalah Allah yang mengatur. Jadi berapa pun uang yang ia peroleh selalu disyukuri.