ANDIKAÂ kaget, saat Agung, keponakan boss media cetak tempatnya bekerja, memberi bocoran informasi. Kemungkinan besar tugas Andika akan di pindah ke Kota Bogor, Jawa Barat. Padahal, tugas liputannya di Cilacap belum genap setahun.
"Ah masa sih, aku kan belum lama kerja di sini?" Tanya Andika, setengah tak percaya.
"Aku dengar sih begitu, dari orang-orang di kantor pusat" jawab Agung, sambil sibuk membaca artikel edukasi yang dibrowsingnya lewat mbah google.
Meski kurang percaya, tetap saja pikiran Andika cukup terganggu. Betapa tidak, baru juga hatinya terpatri di kota penghasil lanting (penganan dari ketela pohon), harus sudah pindah ke kota lain. Adaptasi baru jelas tak bisa dihindari.Namun, apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Pimpinan redaksi memutasi tempat kerja Andika ke kota hujan. Resiko profesi. Jurnalis muda itu terpaksa menurut.
Setibanya di Kota Bogor, Andika ngekost di kontrakan murah. Hanya ada satu kamar. Itu juga tanpa kamar mandi. WC umum jadi destinasi rutin anak muda ini setiap kali mau membersihkan tubuhnya. Pagi dan sore. Maklum wartawan anyar, upah yang dia dapat masih kembang kempis. Hanya cukup buat makan dua kali sehari dengan menu minimalis. Selebihnya puasa. Meski demikian, jiwa pekerja dan pantang menyerah lulusan fakultas ilmu komunikasi ini patut diacungi jempol. Seing dihadapkan pada perut kosong saat menjalankan tugas, bukan alasan baginya untuk tidak berkarya. Terbukti, tulisan-tulisan Andika tak jarang  menghiasi halaman depan (Headline).Â
Tak cuma rajin menulis, dia juga getol memasukan lamaran kerja ke perusahaan surat kabar yang lebih besar. Media cetak saat ini hanya dijadikan 'Kawah Candradimuka' untuk mengasah kemampuan nulisnya.
Setengah tahun awal tugasnya  di kota hujan, tak ada perubahan berarti pada diri Andika. Tetap hidup serba kekurangan dan menjomblo.
"Boro-boro pacaran. Untuk makan juga masih senin kemis (istilah jarang makan karena faktor boke)". Kalimat ini pernah diungkapkan Andika pada sahabatnya, saat ditanya tentang kehidupan asmara.
Peruntungan Andika akhirnya sedikit berubah, saat menginjak tahun ke-dua di Kota hujan. Salah satu perusahaan surat kabar edisi harian nasional yang lebih besar, menerima anak muda kelahiran Sumedang ini jadi salah satu armadanya. Tempat tugas perdananya adalah Kota Depok. Kota yang kelak jadi saksi bisu kisah asmara jurnalis muda ini.
***
Siang itu, selepas melakukan tugas jurnalistik di  Kecamatan Bojongsari, Andika mampir di sebuah kios kecil dekat kontrakannya. Sebotol minuman mineral dan sebungkus rokok, dia pesan ke penjaga kios.
"Mas numpang duduk ya..!" Kata Andika, waktu pesanannya sudah di tangan.
Setelah dipersilahkan, jurnalis muda ini pun duduk.Â
Belum sempat menikmati pesanannya, seorang gadis muda mungil mendatangi kios, langsung memesan produk pembersih gigi. Andika tak menghiraukan, dia fokus membuka tutup air minum mineral. Sejurus kemudian meneguknya. Justru, si gadis mungil yang diam-diam mencuri pandang. Lalu melontarkan sindiran.
"Haus ya pak" celetuk si gadis, sambil menerima uang kembalian.
Mengetahui dirinya di sindir, Andika tersenyum.
"Sialan..." Pikirnya.
"Eh kamu kan yang ngekost di gang itu?" Tanya si gadis, menunjuk salah satu gang yang memang ada beberapa di daerah itu. Â
"Iya. Gang mangga namanya" jawab Andika.
"Iya aku tahu. Aku kan orang sini" sahut si gadis, menyungingkan senyum manis.
"Oh ya kenalkan, Novi" Gadis yang ternyata bernama Novi, memperkenalkan diri sambil mengajak salaman.
"Andika"
Kemudian diantara keduanya terlibat obrolan singkat. Setelah tukaran nomor hape, Novi pamitan pulang.
Demikan, sejak saat itu, Novi lebih sering menelpon atau mengirim pesan. Apapun segala ditanya, masalah kerjaan, hobby sampai kepada hal-hal kecil lainnya. Tak cukup, si gadis mungil ini juga sering membawakan makanan ke kontrakan Andika. Rupanya, dia telah jatuh hati pada pandangan pertama. Anehnya, semua itu tak membuat Andika gembira. Malah jengah. Padahal, Novi adalah seorang gadis mungil yang cukup cantik. Apalagi dibalut dengan kulitnya yang putih bersih. Tetap saja, bagi Andika tak lebh dari seorang teman. Tanpa ada rasa cinta.
Waktu berkata lain. Perhatian dan keseriusan Novi lambat laun meluluhkan hati Andika. Pria muda berperawakan sedang ini akhirnya  jatuh hati. Jalinan asmara mereka dirajut serius meski harus backstreet.
Novi belum mau mengenalkan Andika pada kedua orang tuanya. Hanya karena pacarnya itu seorang wartawan. Padahal orang tuanya mengharapkan gadis ini mendapatkan jodoh seorang PNS. Seperti suami kedua kakak perempuannya.
Pernah satu kali, Novi minta ijin  kepada orang tuanya untuk mengajak Andika ke rumah, namun ditolak. Bagi merekai, profesi jurnalis dianggap kurang menjanjikan bagi kehidupan ekonomi anaknya.
Emang dasar perasaan Andika kurang begitu sayang. Penolakan kedua orang tua pacarnya itu ditanggapi santai. Bagi Andika, jadi sukur, tidak jadipun bukan soal.
Entah bujukan maut seperti apa, akhirnya Andika diperbolehkan datang ke rumah untuk berkenalan dengam keluarga Novi.
Setibanya di rumah, kesan pertama yang ditangkap Andika jauh dari kata menyenangkan. Seluruh isi rumah yang kebetulan sedang kumpul memandang sepele. Senyuman mereka lebih pantas disebut ejekan.
Andika bukanlah laki-laki bermental toge. Perlakuan kurang menyenangkan itu ditanggapinya dengan santai.
"Anak muda katanya kau seorang wartawan? Tanya ayah Novi, Â pandangannya sarat dengan ejekan.
"Betul pak" jawabny singkat.
"Terus orang tuamu dimana dan kerja apa?" Pertanyaan materialistik ini terus meluncur deras dari mulut ayah Novi. Sementara ibu serta kakak-kakaknya hanya duduk santai. Sorot mata mereka memandang rendah.
"Ibu saya di Sumedang tidak bekerja apa-apa. Ayah saya katanya di Jakarta" sahut Andika, apa adanya.
Wajah seisi rumah makin kelihatan kecut dan mencibir paska mendengar jawaban Andika yang blak-blakan. Kecuali Novi, tertunduk, diam seribu basa.
Andika mahfum, tapi dia tak bereaksi apapun kecuali diam. Baru setelah berbasa basi tidak penting, anak muda ini pun pamit pulang.
Beberapa hari kemudian, Novi menelpon. Mengajak Andika bertemu di suatu tempat. Â Singkat cerita mereka akhirnya bertemu di sebuah cafe, tak jauh dari kantor Camat Bojongsari.
"Hey kenapa mata kamu?" Tanya Andika, melihat kedua mata Kekasihnya itu sembab.
" Nggak apa-apa" jawabnya murung.
Dalam perjumpaan sore itu, Novi akhirnya mengaku, dirinya dimarahi seluruh anggota keluarga, lantaran jatuh cinta pada wartawan miskin. Amarah keluarganya kian memuncak, waktu Novi berontak dan keukeuh pada pendiriannya.
"Terus sikapmu sekarang gimana?" Tanya Andika, sambil menatap kedua mata pacarnya itu.
"Ah....pokoknya aku tak peduli. Hubungan kita harus sampai akhir (menikah. Red)" ucap Novi tegas.
"Caranya?" Kembali Andika bertanya.
Bukannya menjawab, gadis ini malah menangis.. Pikirannya buntu, hatinya tercabik-cabik oleh keadaan. Begitupun Andika, diam seribu basa. Iba melihat kekasihnya terus menangis.
"Ya udah. Sekarang kamu tenang. Untuk sementara kita jangan dulu bertemu, sampai semuanya tenang. Nanti kalau sudah enakan, kita bicarakan lagi soal ini" tutur Andika.
Meski berat, Novi terpaksa menuruti kata-kata Andika. Kedua insan muda ini tak lagi bersua selama beberapa minggu. Komunikasi mereka dipercayakan pada hapenya masing-masing.
Bersambung........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H