Waktu berkata lain. Perhatian dan keseriusan Novi lambat laun meluluhkan hati Andika. Pria muda berperawakan sedang ini akhirnya  jatuh hati. Jalinan asmara mereka dirajut serius meski harus backstreet.
Novi belum mau mengenalkan Andika pada kedua orang tuanya. Hanya karena pacarnya itu seorang wartawan. Padahal orang tuanya mengharapkan gadis ini mendapatkan jodoh seorang PNS. Seperti suami kedua kakak perempuannya.
Pernah satu kali, Novi minta ijin  kepada orang tuanya untuk mengajak Andika ke rumah, namun ditolak. Bagi merekai, profesi jurnalis dianggap kurang menjanjikan bagi kehidupan ekonomi anaknya.
Emang dasar perasaan Andika kurang begitu sayang. Penolakan kedua orang tua pacarnya itu ditanggapi santai. Bagi Andika, jadi sukur, tidak jadipun bukan soal.
Entah bujukan maut seperti apa, akhirnya Andika diperbolehkan datang ke rumah untuk berkenalan dengam keluarga Novi.
Setibanya di rumah, kesan pertama yang ditangkap Andika jauh dari kata menyenangkan. Seluruh isi rumah yang kebetulan sedang kumpul memandang sepele. Senyuman mereka lebih pantas disebut ejekan.
Andika bukanlah laki-laki bermental toge. Perlakuan kurang menyenangkan itu ditanggapinya dengan santai.
"Anak muda katanya kau seorang wartawan? Tanya ayah Novi, Â pandangannya sarat dengan ejekan.
"Betul pak" jawabny singkat.
"Terus orang tuamu dimana dan kerja apa?" Pertanyaan materialistik ini terus meluncur deras dari mulut ayah Novi. Sementara ibu serta kakak-kakaknya hanya duduk santai. Sorot mata mereka memandang rendah.
"Ibu saya di Sumedang tidak bekerja apa-apa. Ayah saya katanya di Jakarta" sahut Andika, apa adanya.
Wajah seisi rumah makin kelihatan kecut dan mencibir paska mendengar jawaban Andika yang blak-blakan. Kecuali Novi, tertunduk, diam seribu basa.
Andika mahfum, tapi dia tak bereaksi apapun kecuali diam. Baru setelah berbasa basi tidak penting, anak muda ini pun pamit pulang.