Pada 2023, Kementerian Sumber Daya Alam China merilis peta standar edisi terbaru. Dalam peta tersebut, China secara sepihak memperluas klaim wilayah atas wilayah Laut China Selatan (South China Sea) menjadi 90 persen.
Peta terbaru yang dirilis oleh China memiliki perbedaan dengan versi yang mereka serahkan kepada PBB pada tahun 2009 mengenai Laut China Selatan. Awalnya, wilayah tersebut dibatasi oleh 9 garis putus-putus (nine-dash line), namun sekarang luasannya diperluas menjadi 10 garis putus-putus (ten-dash line).
Ten-dash line ini membentuk lingkaran sepanjang 1.500 kilometer di sebelah selatan Pulau Hainan dan memotong Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia, yang berdekatan dengan Sabah dan Sarawak, kemudian melewati Brunei, Filipina, Vietnam, dan mencapai perairan Indonesia.
Peta yang dikeluarkan oleh China tersebut telah menimbulkan tanggapan negatif dari sejumlah negara pemilik wilayah di Laut China Selatan (LCS) seperti Brunei, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Taiwan karena dianggap melanggar batas kedaulatan mereka.
Pemerintah Indonesia turut mempertanyakan peta baru China tersebut, karena mendekati perairan Indonesia dan tidak sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982.
Namun China merasa klaim wilayah merupakan hal yang sah. Hal ini didasarkan pada argumen sejarah dan tradisi, serta pada garis batas yang mereka tetapkan pada 1947 yang menetapkan wilayah yang diklaim oleh China di LCS.
Jauh sebelum klaim ten-dash line, penerapan nine-dash line oleh China juga telah menimbulkan konflik panjang sebelumnya. Konflik bermula dari klaim China atas pulau-pulau di wilayah LCS, yang didasarkan pada berbagai bukti sejarah seperti penemuan situs-situs arkeologi, dokumen-dokumen kuno, peta-peta, serta aktivitas ekonomi, terutama kegiatan penangkapan ikan oleh para nelayan tradisional China di kawasan LCS.
Hanya saja beberapa negara lain memiliki klaim yang berbeda terhadap wilayah LCS yang sama. Saling klaim berbagai negara ini menyebabkan konflik yang berkelanjutan untuk mempertahankan klaim wilayah kedaulatan masing-masing.
Selain masalah kedaulatan masing-masing negara, konflik kawasan Laut China Selatan juga tidak lepas dari kekayaan ekonominya. Di kawasan LCS, terutama di antara gugusan pulau dan terumbu karang, terdapat kandungan cadangan minyak dan gas alam yang signifikan. Salah satunya di Pulau Spratly yang diperkirakan memiliki kandungan minyak hingga 17,7 miliar ton.
Wilayah LCS juga memiliki strategisnya sendiri sebagai jalur transportasi pelayaran internasional (maritime superhighway) yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik. Lebih dari setengah lalu lintas kapal tangker dunia, khususnya angkutan minyak dan gas bumi melintasi kawasan ini. Akibatnya, jalur ini menjadi fokus utama bagi negara-negara di kawasan LCS dan penggunaannya, terutama negara yang ingin memastikan pasokan energinya tidak terhambat.
Ancaman Konflik LCS bagi Indonesia
Indonesia termasuk negara yang turut serta terancam atas konflik kawasan LCS. Hak atas wilayah maritim, jalur lintas pelayaran, dan wilayah ZEE Indonesia berada di kawasan yang diperebutkan oleh negara pengklaim, yakni China dan Vietnam.
Konflik LCS bagi Indonesia berfokus pada Laut Natuna utara. Indonesia sering berkonflik dengan China di wilayah natuna. Banyak insiden penangkapan ikan ilegal dan konflik wilayah dengan China terjadi di Laut Natuna utara.
Salah satunya pada Maret 2016, sebagaimana dilansir Kompas.id, kapal pengawas perikanan Hiu 11 gagal menangkap kapal ikan ilegal KM Kway Fey 10078 asal China. Kegagalan ini disebabkan karena kapal ilegal tersebut dikawal patroli laut China sewaktu mencuri ikan.
Pada tahun yang sama, akhir Mei 2016, Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Oswald Siahaan menangkap kapal Gui Bei Yu di Laut Natuna. Tanggapan yang keras diberikan oleh Pemerintah China terhadap penangkapan Gui Bei Yu, di mana mereka menegaskan bahwa kapal tersebut tidak melanggar hukum Indonesia karena berada di wilayah penangkapan tradisional China.
Konflik lainnya terjadi pada tanggal 17 Juni 2016, KRI Imam Bonjol menangkap kapal China dengan nomor lambung 19038. Saat penangkapan tersebut, kapal penjaga pantai China sempat mengejar dan meminta agar kapal nelayan tersebut dilepaskan.
Hingga saat ini, sudah banyak deretan kasus pelanggar kedaulatan Indonesia yang dilakukan berbagai kapal ikan ilegal asal China. Para kapal ikan ilegal asal China menganggap wilayah Natuna merupakan "traditional fishing grounds", sehingga mereka merasa bisa semaunya menangkap ikan di wilayah utara kedaulatan Indonesia tersebut.
Selain pelanggaran kedaulatan wilayah, ancaman konflik LCS bagi Indonesia juga bisa berasal dari konflik antar negara lain. Jika konflik di kawasan LCS berkembang menjadi perang terbuka, Indonesia sebagai salah satu wilayah berdekatan pasti terkena imbasnya.
Hal ini pernah diungkapkan Laksamana Madya TNI (Purn.) Prof. Dr. Amarulla Octavian. Mantan rektor Universitas Pertahanan tersebut mengatakan (dalam Alinea.id, 03/12/2020) bahwa jika perang LCS pecah, maka Laut Natuna dan Laut Sulawesi kemungkinan besar menjadi mandala operasi. Dampak dari pertempuran di LCS bagi Indonesia tentu tidak dapat dihindarkan.
Mitigasi Konflik LCS
Indonesia sebagai salah satu negara yang terancam kedaulatannya dari konflik LCS, tidak memiliki pilihan selain berupaya keras dalam mengamankan wilayah natuna yang bersinggungan dengan kawasan LCS. Salah satu usaha dalam bidang keamanan laut, sebagaimana disampaikan Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo (dalam republika.co.id, 19/03/2024) adalah meningkatkan kekuatan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Hal ini bercermin dari upaya China yang mengerahkan Pasukan Penjaga Pantai (Coast Guard), dibandingkan menggunakan Angkatan Laut dalam mengamankan wilayah LCS. Pengerahan pasukan domestik ini memberikan pesan bahwa LCS merupakan bagian dari daerah kedaulatan China.
Selain memperkuat keamanan, Dubes RI untuk Filipina tersebut mengungkapkan jika penyelesaian konflik LCS harus dilakukan dengan kekuatan diplomasi. Maka dari itu, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan diplomasinya terutama beraliansi dengan negara-negara yang memiliki kepentingan sama terhadap LCS, seperti ASEAN.
Hal senada juga dijelaskan oleh Erik Purnama Putra, Co-Founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bahwa konflik Laut China Selatan tidak dapat ditangani oleh Indonesia sendirian. Menurutnya, Indonesia perlu berkolaborasi dengan negara-negara anggota ASEAN untuk bersama-sama memperjuangkan aspirasi penyelesaian konflik LCS.
Memperkuat Ekonomi Natuna
Lebih lanjut, selain memperkokoh keamanan dan diplomasi luar negeri, Indonesia juga perlu meningkatkan kekuatan ekonominya. Berdasarkan penelitan Mu'aqaffi, Octavian, Yulianto, & Widyanto (2022), salah satu kekuatan ekonomi yang perlu ditingkatkan adalah pembangunan Natuna sebagai pusat ekonomi.
Dengan menguatkan ekonomi Natuna, posisi diplomasi Indonesia di kawasan LCS bisa meningkat. Selain itu, dengan ramainya aktivitas ekonomi di Natuna, dapat meningkatkan pengawasan Indonesia atas kawasan LCS.
Natuna sendiri memiliki potensi ekonomi kelautan yang besar. Potensi minyak di Natuna diperkirakan mencapai 36 juta barel, namun hingga kini, baru sekitar 25 ribu barel yang telah dimanfaatkan. Sedangkan potensi perikanan laut di Natuna mencapai lebih dari setengah juta ton per tahun. Selain itu, posisinya yang strategis dapat dimanfaatkan untuk jalur perlintasan kapal internasional, wisata bahari, serta pemasangan kabel telekomunikasi dan pipa bawah laut.
Ide menguatkan ekonomi Natuna sebenarnya telah digaungkan pemerintah dengan rencana menerapkan Kawasan Ekonomi Khusus. Dengan kekayaan baharinya yang cukup besar, Natuna mempunyai potensi untuk ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kelautan.
KEK memiliki aturan dan regulasi yang berbeda dari wilayah lain di Indonesia. KEK menawarkan berbagai insentif fiskal dan non fiskal. Untuk insentif fiskal berupa pembebasan pajak seperti PPN, PPnBM, pajak impor, cukai, serta pengurangan pajak daerah. Sementara insentif non fiskal berupa pelayanan satu pintu dan kemudahan perizinan.
Selain itu, KEK sering kali menyediakan infrastruktur yang lebih baik dan akses langsung ke pasar internasional. Hal ini dapat semakin meningkatkan daya tariknya bagi para investor untuk menanamkan modal mereka di Indonesia.
Salah satu contoh daerah yang berhasil dengan kebijakan KEK adalah Galang Batang di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Mengutip laporan Dewan Nasional KEK Tahun 2022, KEK Galang Batang mencatatkan realisasi investasi sebesar Rp17,1 triliun dan nilai ekspor sebesar Rp7 triliun. Selain itu, kebijakan KEK Galang Batang juga menyerap lebih dari 4.000 tenaga kerja.
Contoh lainnya adalah KEK Nongsa di Batam. KEK yang ditetapkan tahun 2021 ini mencatat realisasi investasi sebesar Rp2,61 triliun dan penyerapan lebih dari 1.600 tenaga kerja. Hingga tahun 2023, dari 20 KEK di seluruh Indonesia telah berhasil mencatatkan investasi hingga Rp167,2 triliun dan membuka lapangan kerja bagi 113.038 orang.
Dengan turut serta menjadi KEK, harapannya ekonomi Natuna dapat didorong lebih cepat bertumbuh. Nantinya, aktivitas ekonomi di Natuna yang ramai secara tidak langsung juga dapat meningkatkan pengawasan wilayah Indonesia dalam konflik LCS. Maka dari itu, penerapan kebijakan KEK Natuna merupakan salah satu hal penting yang harus segera diimplementasikan.
Karena klaim awal China atas kawasan LCS didasarkan adalah tradisi ekonomi mereka berupa aktivitas penangkapan tradisional, maka sudah sepatutnya Indonesia juga menangkalnya dengan peningkatan kegiatan ekonomi di Natuna yang bersinggungan dengan LCS.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H