“Zalfa, bersamamu aku merasa nyaman, aku tak ingin pisah denganmu walau sedetik.”
Aku ingin menangis, tapi tak ku lakukan, aku hanya memeluknya dari belakang agar ia tak curiga kalau ingin menitikan air mata.
Sesampai dirumah, aku mengajak Kak Aziz mampir.
“Kak, masuk dulu yuk, istirahat sebentar” ia hanya menganggukan kepala tanda setuju.
“Kak Aziz, hari ini aku sangat bahagia sekali bisa bersamamu, tapi aku ingin kita berteman saja seperti dulu.”
Sontak saja ia kaget, lalu ia menanyakan alasannya kenapa aku menjelaskannya panjang lebar,meski aku sakit tapi aku harus kuat. Ia pun menerima alasan dan keputusanku.
Hari-hari setelah itu aku jarang bertemu dengannya. Meski aku ingin bertemu dan ingin mendengarkan ia memetikan gitar, aku berusaha tak menghubunginya. Sampai kelulusanpun tiba, banyak teman-teman yang kuliah di luar kota, tapi tidak dengan aku. Karna aku tak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikanku, apa boleh buat. Aku dengar dari sahabatku Kak Aziz akan melanjutkan kuliah di Al-Azhar Mesir. Sedih, karna itu berarti aku tak bisa melihatnya lagi untuk beberapa tahun kedepan. Meski aku dan dia jarang komunikasi, tapi perasaan ini masih sama, bahwa aku masih menyayanginya.
“Zalfa, besok Aziz berangkat ke Mesir” Ucap Nana sahabat karibku.
“Oh ya”
Aku mencoba menutupi kekhawatiranku, dengan pura-pura tak peduli dan cuek dengan apa yang Nana bicarakan.